Makalah Problema – Problema Yang Harus Dibenahi Di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN

Problema – Problema Yang Harus Dibenahi Di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut

A. REKRUTMEN ANGGOTA LEGISLATIF

Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.

Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki pola rekrutmen yang berbeda. Pada referensi yang lain, kita bisa menemukan definisi atau pengertia rekrutmen politik yang lebih memperhatikan sudut pandang fungsionalnya, yaitu “The process by which citizens are selected for involvement in politics”. Pengertia tersebut di atas menjelaskan bahwa rekrutmen politik adalah proses yang melibatkan warga negara dalam politik.

Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administrative, penelitian khusus yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.

Adapun beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik adalah sebagai berikut;
  1. Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis.
  2. Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM.
  3. Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut.
  4. Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi.
Ada beberapa hal menurut Czudnowski, yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif, sebagaimana berikut ;

  1. Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan.
  2. Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik.
  3. Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini.
  4. Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit.
  5. Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas kerjanya.
  6. Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.
Menurut Fadillah Putra dalam bukunya “Partai politik dan Kebijakan publik” terdapat beberapa mekanisme rekrutmen politik antara lain :

1. Rekrutmen terbuka, yang mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan paham demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol legitimasi politik para elit. Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen terbuka adalah :

a. Mekanismenya demokratis

b. Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki

c. Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi

d. Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.


2. Rekrutmen tertutup, berlawan dengan cara rekrutmen terbuka. Dalam rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya.

(Putra, 2003:209)

Jadi, mekanisme rekrutmen politik yang dilakukan partai politik terdiri dari dua sistem yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka akan memungkinkan lahirnya calon-calon legislatif yang betul-betul demokratis dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, hal ini dikarenakan oleh proses pengangkatan calon tersebut dilakukan secara terbuka. Sedangkan sistem tertutup merupakan kebalikan dari sistem terbuka, dimana para pemilih tidak mengenal seseorang calon legislatif, karena sistem pengangkatan calon legislatif tersebut dilakukan secara tertutup. Hal ini memungkinkan timbulnya calon legislatif yang tidak kompetitif, berhubung proses pengangkatan tidak diketahui oleh umum.

Pengajar Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AA GN Ari Dwipayana juga berpendapat pola kaderisasi kepemimpinan politik yang mandek terjadi karena siapa pun yang menjadi pemimpin hanya berdasarkan sistem pewarisan atau faktor kedekatan. Sementara orang yang mau berkeringat justru tidak mendapat jatah apa-apa.

Setelah keruntuhan Orde Baru, model rekrutmen ini masih berlanjut dan bahkan diperparah dengan adanya pola transaksional politik.

Dalam rekrutmen politik transaksional, siapa pun yang dicalonkan tergantung pada kemampuan finansial mereka. Siapa yang memiliki modalitas finansial kuat, merekalah yang punya posisi tawar.

Karena hanya bermodalkan uang, maka calon seperti ini tidak memiliki basis ideologi kuat. Sehingga sewaktu-waktu mereka bisa dengan mudah pindah ke partai lain.

Dari sisi umur, kepemimpinan politik di Indonesia sekarang berbeda dengan periode tahun 1940-1950-an. Dulu, usia pemimpin politik relatif sangat muda, bahkan ada yang di bawah 40 tahun, tetapi sekarang posisi-posisi tersebut masih didominasi mereka yang berusia di atas 50 tahun sampai 60 tahun.

Ada proses rekrutmen politik dan proses kaderisasi parpol yang lamban, yang kemudian tidak melahirkan kompetisi politik yang demokratis. Saat orang-orang tua ini masih bercokol, maka proses demokratisasi tidak berjalan dengan baik.

Jika kembali ditelaah, persoalan migrasi politik pada dasarnya bersumber dari lembaga partai politik. Sependapat dengan Ari Dwipayana, pengajar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sebagian besar partai politik di Indonesia saat ini tidak memiliki sistem keanggotaan, kaderisasi, dan mekanisme perekrutan yang terlembaga. Siapa saja yang menjadi anggota partai tidak jelas, sehingga sistem pengkaderan tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya sistem rekrutmen yang catch-all system menjadikan praktik kutu loncat bertambah subur.


B. PROGRAM YANG BERPIHAK KEPADA MASYARAKAT


Reformasi kesehatan, pemerataan pendidikan, dan percepatan pembangunan infra struktur di daerah terpencil mendapat perhatian khusus dari pemerintah dalam tahun-tahun mendatang guna mengentaskan kemiskinan dan mempercepat kesetaraan. Itulah beberapa program yang dijanjikan pemerintah kepada rakyatnya, namun pada dasarnya belum bisa terlaksana secara baik dan benar. Sejumlah program pemerintah pusat dan daerah serta program antar instansi di pemerintah pusat tidak sinkron. Akibatnya, alokasi anggaran tidak optimal dalam menggerakkan perekonomian rakyat. Sinkronisasi perencanaan melalui musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) mulai desa atau kelurahan sampai pusat, menurut Robert, acap kali didominasi oleh proses politik dan bersifat teknokratis. Akibatnya, apa yang menjadi aspirasi musrenbang hilang sampai di atas.

Banyaknya program pemerintah yang tidak penting dan terutama tidak berpihak kepada masyarakat disinyalir terjadinya korupsi dan pemborosan. Dari beberapa program banyak sekali para elit politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat padahal mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan memperjuangkan aspirasi rakyatnya.

Pengamat Politik Universitas Gajah Mada (UGM), Ari Dwipayana, menilai maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena kurangnya pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Seharusnya Kementerian Dalam Negeri tidak hanya sekedar melakukan pengawasan semata melainkan menindak lanjuti dengan pembinaan.

"Kalau kita lihat dari sisi pengawasan tetapi juga harus ada proses pembinaan, monitoring dan evaluasi. Kemendagri tidak hanya berhenti kepada pengawasan namun juga harus pembinaan agar daerah menjadi kuat,” kata Ari Dwipayana

Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 173 kepala daerah di seluruh Indonesia tersandung masalah hukum. Kasus terbanyak adalah penyalahgunaan anggaran daerah. Menurut Ari Dwipayana, bocornya APBD oleh pejabat daerah karena selama ini tidak ada konsolidasi pengalokasian anggaran antara pusat dan daerah.


Sejumlah daerah mengeluhkan kesulitan untuk mendapatkan anggaran dari pusat. Sehingga banyak lobi-lobi yang dilakukan oleh pemerintah daerah ke pusat untuk mendapatkan dana. Tidak heran apabila banyak terjadi penyalahgunaan proyek pada kementerian seperti kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada proyek percepatan dan pembanguanan infrastruktur daerah (PPID).

“Kepala daerah banyak yang tinggal di Jakarta untuk mendapatkan dana dan disitu ada pola permainan antara kepala daerah dengan korporasi dan itu pintu masuk korupsi selanjutnya. Menurut saya konsolidasi anggaran perlu dibenahi agar transfer anggaran jelas,” ujarnya.

Maraknya kepala daerah yang masuk bui juga tidak terlepas dari kegagalan partai politik dalam melakukan rekrutmen calon kepala daerah yang diusung.

“Rekrutmen kepala daerah oleh parpol juga stagnan. Parpol yang mengambil calon non kader tanpa memperhatikan komitmen,” kata Ari Dwipayana.

Namun menurut dia, harus ada sanksi tegas bagi kepala daerah yang terjerat hukum, misalnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat mempercepat izin pemeriksaan kepala daerah yang bermasalah.

Maka, untuk kedepannya mari kita bersama – sama untuk mengawasi program pemerintah terutama program yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat, jangan samapi program pemerintah yang dianggarkan untuk kepentingan rakyat disalahgunakan oleh para elit politik untuk kepentingan pribadinya.

C. MENGAKOMODIR ASPIRASI RAKYAT

Berdasarkan konsep demokrasi, tujuan dari partai politik adalah untuk menampung aspirasi rakyat. Konsep ini dikenal sebagai budaya politik dimana keterkaitan antara partai politik dan rakyat sangatlah erat. Konsep ini menjelaskan sikap-sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan aturan-aturan yang memandu sebuah sistim politik oleh anggota dalam cakupan politik tersebut. selain itu, munculnya partai politik itu adalah cerminan dari budaya demokrasi dalam skala normatif.

Terlepas dari keadaan pragmatis mengenai partai politik dan aspirasi rakyat, memang secara normatif keduanya adalah satu paketan dalam demokrasi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menemukan elemen-elemen budaya politik yang didalamnya adanya keterkaitan antara partai politik dan aspirasi rakyat. Apabila partai politik tersebut tidak dapat mengakomodir aspirasi rakyat, maka konsep budaya politik tidak dapat dipraktikkan.

Menurut G. A. Almond dan S. Verba, demokrasi ditemukan pada lima negara yang keadaan partai politiknya dan aspirasi rakyatnya stabil. Terdapat simbiosis mutualisme dalam keduanya. Kelima negara tersebut memiliki ciri individu, budaya politik mengombinasikan penerimaan dan penghormatan kepada otoritas politk dengan sikap yang tidak terpengaruh dan memiliki kebebasan atas otoritas tersebut. hal ini menunjukkan bahwa apabia kebebasan aspirasi rakyat tidak ada, maka matilah konsep demokrasi tersebut. selain itu imbas besarnya adalah partai politik mengalami disfungsi dan hanya sebagai lembaga yang memonopoli tanpa monitoring dari masyarakat

Proses partisipasi politik sangat diperlukan untuk terciptanya budaya politik. Wujud nyata dari partisipasi politik yang disebutkan oleh Almond salah satunya adalah konsistensi aspirasi dari masyarakat kepada partai politik. Keberadaan partai politik pastilah didasari oleh ideologi yang mereka anut. Sebagian besar partai politik adalah korektor bagi pemerintah dan penyalur keinginan masyarakat agar direalisasikan di parlemen. Dengan kata lain, partai politik adalah perpanjangtangannya masyarakat.

Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Bukanlah hal yang berlebihan bila kita menggunakan istilah ini untuk menyatakan keadaan diatas. Keinginan masyarakat adalah keinginan kolektif yang memang harus dapat teraspirasikan pada tempat yang tersedia. Atas nama demokrasi, atas nama masyarakat, atas nama kehidupan.

Menurut Pakar ilmu pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, seorang pejabat publik merupakan representatif dari masyarakat jika pejabat publik tersebut mampu dengan cepat merespon aspirasi masyarakat. “Idealnya pejabat publik yang baik itu harus responsif dengan cepat aspirasi masyarakat. Namun, dalam menyerap aspirasi kan tidak perlu dengan berdemo,” ujarnya.

Menanggapi ancamandari Mendagri yang akan memecat kepala daerah yang berunjuk rasa menentang kebijakan pemerintah, Ari Dwipayana menilai pemerintah tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil keputusan tersebut.

“Memang aturan main belum memiliki aturan kuat yakni UU 32 belum direvisi, ukuran sanksi juga belum jelas. Presiden tidak bisa memberhentikan begitu saja kepala daerah. Mendagri jangan mengunakan ancaman, tetapi harus ada klarifikasi,” tukas Ari Dwipayana.


D. ANGGOTA DPR YANG BERKUALITAS

DPR atau Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga legislatif yang memiliki peran sangat penting dalam kebijakan perundang-undangan. . Menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kriteria Dewan Perwakilan Rakyat yaitu :

  1. Telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
  2. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  3. Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia.
  4. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat.
  5. Setia kepada pancasila sebagai dasar Negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
  6. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara.
  7. Terdaftar sebagai pemilih.
  8. Menjadi anggota Partai Politik peserta pemilu.
Apakah semua kriteria yang telah ditentukan oleh undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 sesuai dengan realita yang ada sekarang? Sebagian iya tapi selebihnya tidak sama sekali, karena keadaan DPR kita sekarang ini sedang terpuruk, korupsi dimana”, tindak pidana, perbuatan asusila dan lain-lain. Apakah perbuatan seperti ini yang dimaksudkan oleh pancasila sebagai lamdasan ideology dan Undang-undang dasar Republik Indonesia sebagai landasan konstitusionil Negara kita? Tentu saja tidak, dan jawabannya terletak pada hati nurani kita masing-masing. Sesuai dengan namanya Dewan Perwakilan Rakyat, seharusnya menjadi suatu lembaga dimana rakyat Indonesia mempercayai untuk menyampaikan keluh kesahnya tentang pemerintahan, menampung dan memfasilitasi saran rakyat dan memperbaiki sesuai dengan demokrasi pancasila.

Sayangnya DPR yang "katanya" mewakili rakyat itu terkadang bersikap yang sama sekali tidak mencerminkan kerakyatan. Selain beberapa contoh yang saya jabarkan di atas, masih banyak contoh perilaku anggota DPR yang perilakunya jauh dari merakyat. Tentu kita masih ingat dengan hobby anggota DPR plesiran ke luar negri. Dengan alasan untuk study banding mereka menghabiskan anggaran milyaran untuk mengunjungi negara-negara yang akan dijadikan pembanding. Jika hasil study banding ternyata bermanfaat bagi masyarakat banyak tentu tidak akan jadi masalah tetapi sayangnya kita tidak dapat melihat dengan nyata hasil kunker anggota DPR karena banyak anggota dewan yang berkunjung ke luar negeri dengan dalih studi banding atau menghadiri konferensi internasional, tapi ternyata tidak serius, hanya ekskursi dan jalan-jalan.

Produk-produk yang seharusnya dihasilkan DPR seperti UU pun selalu tidak maksimal sehingga sering kita mendengar UU yang digugat di Mahkahmah Konstitusi karena kekurangcakapan anggota DPR dalam menghasilkan UU yang berkualitas. Tidak sampai disitu, rencana DPR untuk membangun gedung parlemen yang baru, renovasi Gedung Banggar hingga renovasi toilet DPR yang memakan biaya hingga 3 milyar pun sangat melukai perasaan rakyat banyak. Di saat angka kemiskinan yang semakin bertambah, para anggota DPR malah semiakin 'memamerkan' kekuasaannya.

Perilaku anggota DPR bertolak belakang bertolak belakang dengan keadaannya sekarang, rakyat Indonesia justru sudah tidak percaya dengan pemerintahan Indonesia dan akibatnya rakyat indonesai APATIS terhadap pemerintahan. Apakah ini cita-cita dari demokrasi pancasila ? jawabannya kembali lagi dari hati nurani kita masing-masing. Rakyat tentu membutuhkan sebuah lembaga perwakilan yang diisi oleh orang-orang yang bermoral agar segala tuntutan atau permasalahan yang mereka alami tidak hanya didengar, namun juga dapat ditindaklanjuti secara jelas.

Dewan Perwakilan Rakyat itu seharusnya sesuai dengan undang-undang Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kriteria Dewan Perwakilan Rakyat. Peraturan nya dibuat sudah sangat baik, dan poin ke 5 seperti yang tertulis diatas yaitu “Setia kepada pancasila sebagai dasar Negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945”, harus ditanamkan oleh setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, karena pesan tersebut mencakup banyak sekali makna positif untuk perkembangan pemerintahan Indonesia.

"Rakyat jenuh dengan pemimpin stok lama yang memiliki masalah lama. Masyarakat merindukan fi gur-fi gur baru yang tidak memiliki beban dan masalah dengan masa lalu. Seperti yang banyak terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta adalah contoh bagaimana proses yang akhirnya menghasilkan calon berkualitas," kata pengamat politik UGM, Ari Dwipayana, ketika dihubungi, kemarin.

Bila parpol masih terbelenggu dengan pemimpin stok lama, dikhawatirkan pemimpin tersebut tidak akan bisa berbuat banyak. Apalagi bila yang bersangkutan terkait sejumlah masalah di masa lalu. Ari mengingatkan kejenuhan publik atas stok pemimpin lama tidak berarti hanya dijawab dengan langkah parpol untuk memajukan "asal orang baru".


E. DIBENTUK BADAN PENGAWAS PEMERINTAH

Seperti yang kita ketahui, dimana rencana dari bapak presiden SBY tentang pengreshuffle, para menterinya itu menandakan bahwa, kinerja dari cabinet gotong royong yang di asung oleh bapak SBY telah mengalami kegagalan, dimana selama 2 periode kepemimpinan ketua Pembina partai demokrat tersebut, tampak adanya kegagalan dalam mensejahterakan rakyat, dimana visi-misi yang dikumandangkan oleh partai demokrat dulunya.

  1. Kasus korupsi
    Kasus yang terjadi baik di dalam pemerintahan , yang terjadi oleh kementerian menpora dan kemenakentras. Banyaknya kasus korupsi di dalam tubuh pemerintahan SBY, telah menjadi penunjang ketidakpuasaan rakyat terhadap pemerintahan SBY yang saat ini, sudah semakin dijauh dari harapan. Bahkan kasus korupsi yang terdapat di dalam pemerintahan SBY memiliki hubungan dengan partai Nazaruddin. Jadi inilah yang menandakan kegagalan dari pemerintahan yang dimiliki SBY sudah hamper ambruk dan menunggu di ambang kemusnahan, dikarenakan didalamnya terdapat banyak pengerat yang sudah menghabiskan pondasi-pondasi yang btelah dibangun dengan kokohnya.
  2. Kinerja yang menurun
    Setelah masa kepemimpinan oleh SBY di dua periode terakhir, telah membuktikan bahwa kredibilitas dan capabilitas dari kemampuan seorang SBY dinilai, tidak mampu mensejahterakan rakyatnya secara menyeluruh. Dimana kinerja dari bapak SBY , masih tetap saja mendapatkan demo dan kritikan dimana, rakyat yang seharusnya menjadi seorang raja, tidak mendapatkan haknya dan sebaliknya rakyat tetap saja didalam penderitaan dan kemiskinan yang semakin tinggi.
  3. Survei LSI ( lembaga survey Indonesia )
    Menurut LSI, tiap tahun kredibilitas dari pemerintahan SBY mulai menurun dan terus menurun, bahkan sampai saat ini kepemimpinan SBY-BOEDIONO, dinilai masih dijauh dari harapan rakyat, dengan kenampakan survey yang hanya 33 %, menandakan rakyat semakin lama semakin tidak puas dimana korespondennya mencapai 1000 sampel.

    Jadi disini, dipertanyakan apakah perlu rakyat, membentuk badan pengawas pemerintah? Dikarenakan, semua badan-badan kelembagaan yang ada di pemerintah mulai dari KPK, BPK dan berbagai kementerian sudah tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya, malah kebanyakan dari lembaga-lembaga tersebut, dinilai telah menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaanya dengan semena-mena, tidak lagi memihak kepada kepentingan rakyat dan menjalankan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Mereka rela mengorbankan rakyatnya dan membiarkan mereka merugi besar.

    Jadi dengan adanya lembaga atau badan pengawas pemerintah dapat mengawasi pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah dan semua dapat menjadi transparan dan jelas. Jadi, rakyat tidak perlu lagi di bodoh-bodohin seperti yang dikatakan oleh ketua DPR , Marzuki Ali yang mengatakan bahwa, rakyat itu tidak tahu apa, sehingga rakyat meskipun masih awam tetang urusan pemerintahan dapat mengerti dan memahami tentang urusan negaranya, dikarenakan rakyat adalah bagian unsur penting dari suatu negara.
F. PENDIDIKAN POLITIK

Esensi terpenting dari pendidikan politik ( political education) adalah pendidikan kewarganegaran (civic education) untukmengetahui tugas dan tanggung jawab sebagai warga negaraatau lebih tepat lagi disebut pendidikan politik adalahpendidikan demokrasi (democracy education), pendidikan yang mewujudkan masyarakat demokratis, yaitu masyarakat yang bebas ( free society) yang hanya dibatasi oleh kebebasan itu sendiri, bukan masyarakat kolektivisme yang “terpasung” oleh atribut-atribut agama atau norma-norma budaya.

Dalam kontek inilah diharapkan pendidikan politik mampu melahirkan budaya politik yang sehat, yang hingga pada akhirnya berhasil mewujudkan masyarakat demokratis yang bebas dari bias apapun. Politik yang sehat tentu menjadi syarat utama dalam menghasilkan masyarakat demokratis tersebut. Sebab, tanpa berjalannya politik yang sehat maka tentu masyarakat demokratis atau demokrasi itu sendiri kehilangan arahnya sehingga muncullah kebebasan yang tidak terkontrol, yang pada akhirnya mencederai demokrasi itu sendiri. Di sini lah sebenarnya relevansinya pendidikan politik sebagai upaya penguatan terwujudnya masyarakat demokratis, tentu melihat ini dalam konteks demokrasi kita yang berjalan merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya mereorientasi pendidikan politik—yang telah atau sedang—berlangsung.

Pendidikan politik bagi warga negara perlu untuk menentukan pilihan politik mereka secara cerdas. Tetapi, pendidikan politik menjadi persoalan ketika ia dilakukan oleh partai politik atau Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seharusnya, masyarakat juga melakukan pembelajaran politik dengan melakukan pembelajaran secara horizontal (horizontal learning) untuk mengetahui sejauh mana mereka mengetahui lebih jauh kandidat-kandidat yang muncul sekarang ini untuk bisa mewakili aspirasi mereka.

Informasi dasar yang harus diperoleh masyarakat diantaranya rekam jejak (track record) dari kandidat itu sendiri. Dalam konteks ini, apakah kandidat pernah melakukan pelanggaran HAM di masa lalu, pernah melakukan korupsi ataukah pernah melakukan tindakan pelanggaran lingkungan. Ini hanya bisa didapatkan melalui proses horizontal learning. Demikian pendapat AAGN Ari Dwipayana, SIP, MSi tentang pendidikan politik masyarakat. Selanjutnya, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan tersebut menjawab beberapa pertanyaan reporter Kabar UGM. Berikut petikannya .

a. Siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan politik dimasyarakat?

Bukan hanya partai politik dan KPU, namun masyarakat juga harus cerdas dalam melihat kondisi ini. Sudah terlalu lama masyarakat menunggu. Ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk melakukan proses pembelajaran horizontal antar masyarakat saja.

b. Bagaimana dengan iklan tentang kandidat dan partai politik?

Komunikasi politik yang terjadi sekarang ini merupakan ajang untuk mengiklankan diri dimana proses iklan itu sesungguhnya realitas semu yang ditawarkan melalui iklan. Citra yang dijual. Tentu kita tidak bisa hanya dapatkan melalui media tapi juga melalui proses pembelajaran horizontal antar masyarakat.

c. Bagaimana menggerakkan diskusi masyarakat?

Saya kira sekarang sudah muncul inisiatif-inisiatif masyarakat di tengah apatisme masyarakat terhadap pemilu. Kemudian munculnya fenomena golput. Munculnya fenomena orang menjadi frustasi terhadap persoalan, namun dengan munculnya beberapa inisiatif dari masyarakat untuk mengorganisir dirinya sendiri dan melakukan dialog secara horizontal dengan masyarakat yang lain, sehingga mereka memiliki kriteria yang lebih jelas mengenai apa yang mereka inginkan ke depan.

d. Bagaimana peran pers dalam pendidikan politik?

Harapan yang besar pembelajaran bagi publik sebenarnya dari pers karena dari pers masyarakat bisa mengetahui sesuatu yang terjadi secara masif. Namun seperti yang kita tahu, sekarang ini pers cenderung lebih plural dan beragam, sehingga informasi yang diperoleh pun juga sangat beragam. Karena itu masyarakat dituntut untuk memilih dan selektif dalam menentukan apa-apa yang mereka inginkan.

e. Bagaimana dengan peran perguruan tinggi?

Perguruan tinggi menjadi sangat strategis karena ia menjadi sebagai intermediasi seperti juga halnya pers. Namun perguruan tinggi tetap saja ada keterbatasan karena ia bisa bekerja juga melalui pers juga. Perlu ada terobosan, perguruan tinggi melakukan pendidikan pemilih melalui pendampingan agar supaya masyarakat lebih kritis mensikapi kompetisi politik secara baik dan juga secara kuat masyarakat juga mampu memperjuangan kepentingan mereka kepada kandidat. (Gusti Grehenson)



G. HUKUM MENJADI PRIMADONA

Perjalanan negara hukum Indonesia masih tertatih-tatih. Berbagai persoalan hukum yang mengusik rasa keadilan terus muncul silih berganti setelah setelah lebih satu dasa warsa reformasi belangsung, semangat melakukan reformasi hukum pun belum memenuhi tuntutan keadilan yang berkembang. ’’Meskipun arah kebijakan pembangunan hukum telah dirumuskan dengan sangat jelas dan baik, pada kenyataannya kondisi hukum Indonesia masih jaduh dari harapan,’’ ungkap Hakim Konstitusi Indonesia Hamdan Zoelva dalam seminar nasional ’’Dinamika Implementasi Negara Hukum Indonesia dan Tantangan di Era Reformasi’’ Sabtu lalu (8/9). Menurut dia, dari sisi pembentukan hukum, secara kuantitatis sejak 1999-2012 sudah terdapat 405 undang-undang yang dilahirkan.

Negara hukum Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah konsep Rechtsstaat dan bukan pula konsep the Rule of Law, melainkan membentuk suatu konsep negara hukum baru yang bersumber pada pandangan dan falsafah hidup luhur bangsa Indonesia. Konsep baru tersebut adalah negara hukum Pancasila sebagai kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat dengan nilai-nilai etika dan moral yang luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan tersirat di dalam Pasal-pasal UUD NKRI Tahun 1945.

Pengakuan atas ke-Bhinneka-an, harus dipadukan dengan kebutuhan membangun ke-Tunggal-Ika-an. Prinsip Tunggal Ika bisa dijabarkan sebagai kebutuhan Indonesia sebagai kesatuan sosial, politik, ekonomi, dan pemerintahan. Karena kemajemukan merupakan ciri khas Indonesia, maka menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan dan keyakinan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu politik hukum nasional harus didasarkan pada prinsip keberagaaman yang membentuk Indonesia sebagai bangsa dan sebagai kesatuan administrasi-pemerintahan.Dengan kata lain politik hukum nasional harus dapat memadukan antara respon atas keragaman dan kebutuhan untuk mewujudkan cita-cita nasional.

Dan wujud konkrit dari tindakan pemerintah negara yang melindungi dan menjamin hak-hak seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia adalah dengan memposisikan hukum sebagai penggerak utama (prime morver) dalam pembangunan nasional agar dapat mewujudkan sinergi dengan semua bidang. Ketentuan hukum yang mengandung kriteria yang mensejahterakan tidak hanya terdapat dalam bidang hukum ekonomi atau Hukum tentang Tenaga Kerja atau Hukum Waris atau Hukum tentang Hak-hak Azasi Manusia, tetapi kriteria yang membuat Hukum Nasional Indonesia menjadi Hukum Yang menSejahterakan (untuk selanjutnya disingkat HYS) harus terdapat di semua bidang hukum.

Makna hukum yang mensejahterakan harus memenuhi kriteria yang bersumber pada kewajiban untuk memelihara dan menjaga keseimbangan dan keserasian antara: Kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak; Empati terhadap kehidupan dan kesulitan yang dihadapi orang lain, dan keseimbangan dan keserasian antara kepentingan kelompok masyarakat yang maju pesat di satu pihak dan perlindungan serta bimbingan kepada pihak yang terbelakang. Keberpihakan pembuat hukum terkait dengan penguatan HAM tercermin melalui undang-undang (legislation) dan kebijakan (policy).

Sedangkan keberpihakan aparat penegak hukum untuk penguatan HAM tercermin dalam tindakan mempraktikan undang-undang yang relevan dengan HAM; Dan untuk menjaga konsistensi pelaksanaan demokrasi, diperlukan suatu peraturan perundang-undangan tentang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang terkodifikasi dan mempunyai daya laku serta daya guna yang lama.

Pakar Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM AA GN Ari Dwipayana berpendapat, secara spesifik proses pembuatan hukum positif di Indonesia belakangan ini menunjukkan keadaan yang cenderung tidak semakin baik. Itu ditandai dengan sejumlah indikator. Seperti kualitas SDM rendah, lamanya waktu penyusunan sehingga memakan biaya yang mahal, sampai kepentingan politik dan ekonomi yang memengaruhi. ”Ini berdampak pada produk hukum yang berkualitas rendah, timpang, dan tidak memiliki kemampuan mewujudkan keadilan subtansial,’’ tandasnya

Keberhasilan membangun negara hukum tidak dapat diukur dari kemampuan memproduksi legislasi dan menciptakan atau merevitaslisasi institusi hukum. Keberhasilan bernegara hukum harus pula diukur dari implementasi dan penegakan hukum yang mampu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat.

’’Fokus utama berbagai kebijakan hukum harus berorientasi pada institusi peradilan dan penegakan hukum,’’ tandasnya.

Baca juga : 

0 Response to "Makalah Problema – Problema Yang Harus Dibenahi Di Indonesia"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya