Makalah Sejarah Politik Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan ini sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang pembahasan politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi.

Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan

Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan.Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik.Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dari sudut moral.Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.

Sistem pemerintahan Orba di mulai pada tanggal 11 Meret 1966 sampai dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun pemerintah Soeharto memimpin negara RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan negara di tangan presiden. Secara formal memang anggota MPR di pilih melalui pemilu, namun sesungguhnya pemilu itu hanya mengisi 40% anggota MPR. Selebihnya 60% anggota sangat bergantung kepada presiden.Selaku panglima tertinggi ABRI presiden mempunyai kuasa untuk menentukan utusan ABRI di DPR/MPR. Presiden pun mempunyai kuasa untuk menentukan wakil-wakil dari berbagai kelompok masyarakat ke dalam utusan golongan di MPR. Presiden melaui Mendagri juga mempunyai pengaruh dalam penentuan wakil dari daerah ke dalam Utusan Daerah di MPR. Dan para anggota DPR hasil pemilu serta anggota tambahan untuk partai peserta pemilu di MPR, yang mayoritas berasal dari partai Golkar, juga tidak terlepas dari pengaruh presiden selaku ketua dewan pembina Golkar.

Disini tampak bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di masa Orba memiliki kemiringan dengan pelaksanaan sistem ini di masa demokrasi terpimpin. Pemabasan hak politik rakyat ( hanya boleh ada 3 parpol, dan satu wadah tunggal bagi masing-masing keompok kepentingan). Pemuasan kekuasaan di tangan presiden, pembentukan lembaga ekstrakonstitusional.

Namun harus di catat pula bahwa pemerintahan Orba relatif “berhasil” melakukan pembangunan ekonomi. Sayang bahwa prestasi dalam bidang ekonomi itu tidak di barengi dengan prestasi politik. Merebaknya praktek KKN, serta kesenjangan kaya miskin yang cukup terasa menyebabkan semangkin menumpuknya ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat kemudian terakumulasi dalam gerakan-gerakan protes mahasiswa, yang mendapat momentum ketika krisis ekonomi mulai melanda wilayah RI di tahun 1997. Perpaduan di antara dua hal itu telah mendorong turunya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.

Pemerintah orba yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil mendesak Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden. Pernyataan mengundurkan diri itu dilakukan pada tanggal 21 mei 1998 dan sekaligus mengakhiri Orba (Bambang, 2002:70).

B. RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimana perkembangan sejarah politik Indonesia yang terjadi?
  2. Apa saja hal penting yang harus di pahami dalam sejarah politik orde Baru dan Reformasi di Indonesia?
C. TUJUAN MASALAH
  1. Ingin lebih mengetahui sejauh mana perkembangan sejarah politik Indonesia
  2. Ingin mengetahui hal penting apa saja yang harus dipahami dalam politik Orde Baru dan Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENULISAN SEJARAH POLITIK INDONESIA

Menulis sejarah politik, tidak semudah menulis sejarah atau disiplin ilmu lain, terutama menulis sejarah politik di Negara-negara yang di kontrol oleh rezim otoriter. Seorang sejarawan asing, profesor dari School of Asian and Internasional Studies, Griffith University yang menjabat sebagai Director Griffith Asia Pacific Council, Elson menulis dalam sebuah catatan ringkas tentang sejarah politik Indonesia. [1]
Menurutnya tidak banyak tulisan yang dibuat ahli sejarah tentang politik di Indonesia kontemporer. Karya-karya besar mengenai politik di Indonesia kontemporer jika adapun justru tidak ditulis oleh sarjana yang memiliki latar belakang sejarah. Anderson misalnya menulis tentang “jawa pada masa Revolusi,” Herbert faeith menulis “Runtuhnya Demokrasi konstitusional,” sementara Richard Robison menghasilkan karya “Indonesia: Rise capital,” mereka adalah sarjana di bidang politik, antropologi-politik dan ekonomi-politik.

Menurut Elson Fenomena semacam itu terjadi disebakan karena beberapa faktor di antaranya, karena disiplin sejarah di Indonesia tidak memperoleh iklim yang kondusif, sehingga tradisi intelektual dalam penulisan sejarah politik tergolong sangat lemah. Peristiwa sejarah di negeri yang amat krusial, misalnya tentang siapa sebenarnya yang menemukan tubuh para para jenderal di Lubang Buaya, atau dimana sebenarnya teks asli supersemar, tidak bisa di ungkapkan melalu sebuah penelitian dan kajian secara intelektual. Elson berkesimpulan bahwa Indonesia bukan tempat yang bagus bagi ahli sejarah, terutama sejarawan asing melakukan penelitian sejarah guna mendapatkan informasi dan bahan-bahan sejarah politik seperti itu membutuhkan stamina, kesabaran dan juga keberanian. Tak kalah menariknya memerlukan kepandaian untuk mengambil sikap.

Menurut Elson Dari segi subjek material, sejarah politik di Indonesia memuat tema dan plot yang sebagian berhubungan dan yang lain lagi terpisah-pisah menyangkut perputaran kalaedoskop orang,emosi, kepentingan, tipuan, kebangsawanan dan juga kekerasan yang kesemua itu tidak begitu saja mudah ditafsirkan. Melihat fenomena sejarah politik di Indonesia secara empirik seperti itu maka jelaslah bahwa penulis sejarah politik di negeri ini tidak semudah yang dibayangkan orang. Penulis sejarah politik tersebut membutuhkan keahlian tersendiri dan ironisnya jumlah mereka yang memiliki keahlian seperti itu tidaklah banyak.

Maka demikian bangsa Indonesia secara tipikal dikenal sebagai bangsa yang sejarah minded. Begitu banyak proses pembentukan identitas bangsa ini dibentuk atas dasar sejarah masa lalu. Namun karena tidak dilakukan atas tradisi intelektual yang baik, pembentukan identitas tersebut walaupun didasarkan kepada sejarah masa lalu terkesan distrotif, simplifikatif dan bahkan didasarkan kepada penafsir sejarah yang menimbulkan kesadaran, wacana, dan bahkan kebijakan yang keliru.

Pemahaman simplifikatif yang menyesatkan karena keterpentingan politik telah mendistorsi penafsiran sejarah sebagaimana penafsir yang menyatakan soekarno adalah pemimpin besar revolusi, bahwa demokrasi parlementer tahun 1950 adalah salah, tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menganut paham kekeluargaan. Belakangan bangsa ini juga member predikat kepada soeharto Sebagai sosok yang tidak pernah membuat sejarah apa-apa selama masa Orde Baru selain korupsi melulu.

Begitu banyak pertanyaan yang bisa di ajukan berkaitan dengan kepolitikan Indonesia kontemporer. Misalnya seberapa penting institusi politik? Apa peran yang telah dimainkan oleh partai politik, parlemen dan militer dalam membangun demokrasi di Indonesia? Adakah perubahan hubungan institusi-institusi politik itu dengan birokrasi? Bisakah kita berbicara ideology politik di Indonesia? Apakah basis kepemimpinan politik di Indonesia? Mengapa sejarah politik Indonesia kontemporer penuh dengan kelangsungan sejarah bangsa ini untuk menghadapi masa depan setelah mengalami diskontinyuitas di masa lalu?.

Semua pertanyaan tersebut dapat diperpanjangkan dan yang menjadi point penting adalah bagaiamana ahli sejarah member konstribusi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara lebih serius, terbatas dari bias kepentingan, bias ideology maupun bias teoritik, sehingga menghasilkan penulisan sejarah yang lebih jujur dan terpenuhi syarat-syarat metodologis yang diperlukan.


B. PEMAHAMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU


Tidaklah mudah memahami sejarah kontemporer, khususnya masa Orde Baru, apalagi melihatnya di tengah perkembangan politik di jamin Reformasi sebuah era yang muncul sebagai kritik dan kekecewaan terhadap kinerja Orde Baru. Kecenderungan untuk melihat hitam putih menjadi sulit dihindari. Banyak ahli yang dengan mudah turut terjebak kepada problematika teoritik maupun interes yang komplek, sehingga tidak bisa melihat sejarah politik Orde Baru dalam kacamata yang objektif. Mereka tidak kuasa mengambil jarak (withdrawl) dari arus besar yang berkembang pada era reformasi, dan kemudian melihatnya secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan Orde Baru adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia.

Bahwa sejarah politik Orde Baru menghasilkan krisis memang tidak bisa dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah sebuah fenomena politik yang monolitik, yang dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde Baru belakangan menanpilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan demokrasi terutama fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto ini. Oleh karena itu ada sejumlah komentator yang menyatakan bahwa Soeharto “take off” dengan benar, tetapi kemudian “landing” dengan cara keliru.

1. Periodisasi Politik Orde Baru

Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti di lakukan oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu fase Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.

Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan Orde Baru, terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim soeharto. Selayaknya masa krisis ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai berikut

a. Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut periode 1967-1974 sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa Indonesia bisa menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek pemerintahan. Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh politik kekirian ( Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal sebagai Soekarnois liberal.

Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan dimulainya tekanan atas kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun kekuatan dari tekanan lawan politik di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan tokoh popular, Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun 1976.


b. Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase Stalinist. Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan K mengeluarkan SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan K No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula dengan perangkat BKK. [4]

Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi sebagai man political force. Dalam praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo, penurun SPP, protes pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes mahasiswa Ujungpadang atas kenaikan tarif angkot. [5]

Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrument politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa penguasa melalui penataran P4, pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun keagamaan; pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat politik soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.


c. Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-saat orang mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang mempercepat arus massuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.

Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-kecamatan. Dengan modal Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu, perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost) dan reformasi (perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.


d. Periode krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah, karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS. Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya menyerahkan Kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan, pembakaran, perusakan, separatism, hingga penjambretan, penodong dan berbagai bentuk kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat.



2. Hubungan Lembaga-lembaga Politik Orde Baru

Rezim Orde Baru memiliki cara-cara tertentu untuk mempertahankan kekuasaan. Hampir tidak ada institusi politik di negeri ini yang tidak berada dalam kontrol presiden, terutama setelah Orde Baru memasuki periode Stalinist. Lembaga kepresidenan begitu kuat, menjadikan cabinet berada dalam posisi subordinatif, dan bahkan parlemen tidak berdaya menghadapi kekuasaan eksekutif, termasuk lembaga peradilan yang tidak bisa berdiri secara independen sehingga kesemuanya menjadi instrument kekuasaan rezim Orde Baru. Lebih terinci, bagaimana kelembagaan itu dikendalikan presiden dapat digambarkan sebagai berikut:


a) Lembaga kepresidenan yang Dominan
Lembaga kepresidenan yang sebenarnya sebuah institusi yang kompleks, bukan hanya terdiri atas presiden saja, melainkan juga Wakil Presiden dan sejumlah aparat pemerintah, sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif seperti para menteri anggota kabinet. [6] Dengan demikian, sampai dengan 1998, tidak ada orang di Indonesia yang sangat kuat, selain Presiden Soeharto. Soeharto memperoleh legitimasi sejak awal Orde Baru, terutama disebabkan karena keberhasilannya dalam membangun ekonomi, meski kemudian sejalan dengan krisis ekonomi, krisis pula legitimasi dan otoritas soeharto.
Ramlan Subarki [7] menyebut ada 5 faktor yang menyebabkan Soeharto menjadi presiden yang powerful, yaitu karena faktor:
  • Faktor konstitusi
  • Faktor budaya
  • Faktor pribadi
  • Faktor politik
  • Faktor ekonomi

  • Faktor Konstitutisi

    Pertama, konstitusi Indonesia, UUD 1945, menempatkan ekskutif begitu kuat. Sejumlah pasal dari 13 pasal dalam UUD 1945 berkaitan dengan kekuasaan yang membuat presiden menjadi powerful dan memegang kunci kekuasaan, baik kekuasaan eksekutif, legislatif, judicial, kebijakan luar negeri dan keamanan. Terbatas sekali prinsip check and balance dalam konstitusi di Indonesia. [8]
  • Faktor Budaya
    Kedua, faktor budaya turut menjadi lembaga kepresidenan sangat kuat. Dalam budaya atau tradisi jawa, presiden dipandang sebagai layaknya Raja. Dalam berbagai kesempatan perilaku presiden lebih menggambarkan praktik budaya monarki daripada seorang kepala Negara modern. Misalnya, presiden cenderung “memberi petunjuk” kepada organisasi sosial politik, dan bukan dalam rangka artikulasi kepentingan dan kebijakan. Presiden sama dengan sabda pendito Ratu. Presiden memberikan kesempatan organisasi semacam ini memilih pimpinan yang mereka inginkan sendiri. [9]
  • Faktor Pribadi
    Ketiga, faktor otoritas pribadi pemangku jabatan presiden. Seperti juga soekarno, soeharto menduduki jabatan presiden dalam masa bakti yang cukup lama karena keunikan kualifikasi dan sifat-sifat pribadinya. Kalau soekarno menjadi penguasa kuat, karena ia adalah “fouding father” proklamator kemerdekaan, pemersatu bangsa Indonesia, maka soeharto menjadi sangat kuat karena posisinya sebagai pendiri Orde Baru, pemberantas kekejaman PKI dan penyelamat bangsa, dan “Bapak Pembangunan.” Meski soekarno juga panglima tertinggi ABRI (kini TNI), namun soeharto jauh lebih powerful dan memiliki otoritas lebih di tubuh ABRI, karena ia adalah seorang jenderal yang memang pernah memimpin pasukan.
  • Faktor Politik
    Keempat, faktor sistem politik Orde Baru yang bercorak Birokratik Otoritarian. Sistem ini menjadikan presiden bisa memegang kekuasaan penuh dalam bidang ekonomi maupun politik yang ada. Misalnya, presiden mengangkat sisa MPR yang tidak diisi DPR, bersidang setiap lima tahun sekali untuk memilih presiden dan menentukan GBHN sebanyak 100 kursi DPR disisikan bagi perwira tentara yang di angkat. Demikian pula presiden yang mengangkat sejumlah pimpinan departemen, badan dan lembaga seperti BPKP, DPA dan Mahkamah Agung.

    Pengaruh presiden menyebar ke seluruh aspek kehidupan politik. Sistem pemilu, politik partai, sistem representasi kelompok kepentingan dan pemerintah daerah memberi peluang presiden dan pejabat senior untuk melakukan intervensi di semua sektor. Misalnya, praktik penelitian khusus (litsus) yang dilakukan oleh birokrasi sipil dan militer terhadap pejabat pusat dan daerah serta calon pemimpin partai menunjukkan derajat campur tangan langsung presiden terhadap berbagai institusi dan partai politik. Di tambah lagi institusi Bakorstanasda yang bisa mengendalikan berita macam apa dan siapa yang boleh berbicara kepada public.
  • Faktor Ekonomi
    Kelima, faktor ekonomi. Kinerja pemerintah Orde Baru dalam pembangunan ekonomi memberikan kesempatan rakyat meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah Orde Baru berhasil menaikkan produksi beras, meningkatkan angka melek huruf, pelayanan kesehatan, pendidikan, transportasi dan komunikasi serta membuka kesempatan kerja di lapangan industry. Dengan diberi predikat sebagai “Bapak pembangunan” menunjukkan presiden diakui memiliki peran yang besar dalam mencapai prestasi pembangunan tersebut.
b) Lembaga peradilan yang tidak independen
Lembaga peradilan di Indonesia selama Orde Baru, Menurut Subarki, [10] lebih berkaitan dengan persoalan pertumbuhan ekonomi, dilihat dari :

  1. Masalah yang sampai ke Mahkamah Agung banyak yang berkaitan dengan sengketa tanah dan penggunaan tanah untuk tujuan pembangunan.
  2. Naiknya pajak memungkinkan untuk menaikkan gaji pejabat peradilan (gaji hakim pernah dinaikan seratus persen).
  3. Pemerintahan mendirikan delapan PTUN lengkap dengan infrastruktur bangunan, hakim dan staf serta berbagai fasilitas di seluruh Indonesia.
Semua hakim agung, termasuk para deputi diangkat oleh presiden dari daftar calon yang diusulkan oleh DPR. Namun Mahkamah Agung tidak memiliki otoritas yang cukup untuk menentukan apakah kebijakan pemerintah dan tindakannya sesuai dengan konstitusi atau tidak. Sementara itu semua hakim di daerah maupun di pengadilan tinggi adalah pegawai negeri, yang diangkat, dipromosikan, digajikan dan diawasi oleh Departemen Kehakiman. Anggaran mereka ditentukan oleh Seketariat Negara. Dengan demikian peradilan di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung disusun sebagai bagian dari pemerintah daripada sebagai lembaga peradilan. Di kalangan pemerintah berkembang pemahaman bahwa “ hukum harus dipakai dalam rangka pembangunan.” Sehingga tidak berpikir pentingnya sistem peradilan yang independen yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

3. Hubungan Negara dan Masyarakat

Selama masa Orde Baru Negara sangat kuat. Tidak ada perubahan yang tidak di mulau dari Negara. Masyarakat tidak memiliki ruang partisipasi politik. Masyarakat dimobilisasi oleh Negara. Partisipasi bukan bermakna turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan pembangunan. Partisipasi berubah makna menjadi turut serta member sumbangan dari proyek pemerintah yang dibiayanya kurang.

Negara menjadi sangat kuat di mata masyarakat karena Negara mengorganisasikan masyarakat yang memiliki beragam kepentingan secara korporatis. Dengan di organisasikan secara korporatis, masyarakat yang plural dapat menyalurkan kepentingan yang berbeda-beda melalui mekanisme yang tidak perlu menimbulkan konflik antar kelompok atau antar kelas. Perbedaan kepentingan kelompok dan kelas dapat diselesaikan melalui wakil-wakil mereka dalam organisasi korporatis. Dengan demikian korporatis adalah suatu usaha nyata untuk menekan konflik kelas atau kelompok kepentingan dengan baik tidak menggunakan kekerasan (coersif). [11]

Melalui pengorganisasi secara korporatis inilah Negara menaklukkan masyarakat sendiri. Negara dengan mudah memenuhi berbagai kepentingannya yang otonom, kepentingan eksklusif Negara yang tidak mencerminkan aspirasi dan tuntutan masyarakat. Sebagai implikasinya, maka masyarakat mengalami depolitasasi. Masyarakat yang tersingkir, tereksploitasi, tidak kuasa melawan tekanan-tekanan Negara. Masyarakat yang miskin seperti kaum buruh, petani, nelayan, pegawai rendahan dan yang tersisihkan lainnya tidak cukup memiliki kesadaran politik yang memadai untuk menghadapi intervensi Negara. Negaranisasi terjadi hingga sampai pedesaan tang terpencil sekalipun. [12]


4. Praktik Negara hegemonik dan koersif

Negara pada masa Orde Baru menjadi sangat kuat, antara lain juga karena menerapkan cara-cara hegemoni dikombinasi dengan koersif. Hegemoni adalah cara menundukkan orang lain tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan cara-cara cultural seperti pengguna ideology, agama, nilai-nilai budaya tertentu sebagai alat kekuasaan. [13]

Dalam kerangka hegemony pemerintah Orde Baru menggunakan ideology pancasila sebagai instrument berkuasa. Pada tahun 1978 pemerintah menyusun penafsiran pancasila menjadi Eka Prastya Pancakarsa dan untuk kepentingan sosialisasi penafsiran itu diselenggarakan piƱata P4 untuk seluruh lapisan rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun masyarakat biasa. Tahun 1983 pemerintah juga melakukan penunggulan azaz bagi organisasi sosial kemasyarakatan, keagaman maupun politik.


5. Peran Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM

Rezim Orde Baru bisa dikatakan kemenangan militer, karena peranannya menjadi sangat besar. ABRI ( di kemudian hari berubah menjadi TNI ) mengitervensi politik sipil melalui doktrin dwifungsi. Dengan doktrin ini militer memperoleh legitimasi untuk masuk ke ranah politik sipil. Antara lain dengan menempatkan tenaga militer yang aktif maunpun pensiunan di MPR, DPR, DPRD, eksekutif dan staf pemerintah pusat maupun daerah. Sejumlah lembaga Negara penting seperti Depdagri selalu dipegang ABRI. Pada tahun 1996 seperempat jabatan setingkat cabinet termasuk Menteri Agama dan jumlah besar eselon II dipegang oleh perwira yang masih dinas atau sudah pension. ABRI juga melakukan kontrol terhadap Golkar, mengawasi penduduk melalui komando territorial. [14]

Dalam konteks ini, sejalan dengan semakin tinggi tingkat kesadaran politik masyarakat, sehubungan dengan meluasnya masyarakat yang terdidik, maka semakin menyebar kekuatan kritis di masyarakat. Namun semakin kritis masyarakat, ternyata militer cenderung semakin represif. Semakin represif militer, maka semakin banyak pelanggaran HAM dan semakin sering muncul yang disebut dengan the state violence sejak dari kasus Tanjung Priok, Lampung Haor Koneng dan beberapa kasus lainnya. Kasus pelanggaran HAM yang cukup menggempar dan membuat posisi militer semakin tersudut adalah kasus penyiksaan tokoh buruh wanita, Marsinah, di jawa Timur tahun 1993. Para majikan Marsinah di tangkap, tetapi perwira di komando militer setempat.


6. Kebijakan Politik Aliran

Kemenangan Orde Baru, ada yang menafsirkan sebagai kemenangan “orang jawa” karena Orde Baru didominasi militer yang memerintah sejak 1966 secara prinsip tidak dekat dengan Islam. Banyak elit Orde Baru dibesarkan dalam lingkungan Hindu-jawa sehingga menjadikan mereka lebih kuat dari yang lain. Sikap permusuhan elit penguasa Islam telah mendorong pemerintah untuk melarang kembalinya masyumi tahun 1966, termasuk memangkas partai Islam dan menfusikannya kedalam PPP pada tahun 1973. Elit Orde Baru lebih cenderung berkoalisi dengan orang-orang Cina Katolik, sosial bekas anggota PSI dan sejumlah perwira militer anti Islam sengan Ali murtopo pendiri CSIS sebagai otak di belakang semua kebijakan Orde Baru. Pada SU-MPR 1973, ia “menampak umat islam” dengan mengusulkan aliran kepercayaan berstatus sebagai Agama. [16]

NB; (Perspektif Islam politik memandang hubungan Islam dan politik sebagai bersifat organic. Masalah politik, hukum maupun ekonomi diimajinasikan sebagai terkait secara structural dari sistem religious Islam yang dipahami secara skriptualistik, legistik dan formalistic. Lihat Bahtiar Efendy, Islam dan Negara : tranformasi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 48-58)


C. ERA REFORMASI
  • Pemerintahan Habibie : Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
  • Pemerintahan Wahid : Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000. Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
  • Pemerintahan Megawati : Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong royong.
  • Pemerintahan Yudhoyono ; Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.


D. PERGESERAN POLITIK ERA REFORMASI


Memasuki 1998, bangsa Indonesia kemudia berhasil melakukan reformasi, melengserkan rezim monolitik. Negara lalu bukan saja mengalami delegitimasi, tetapi juga demoralisasi dimata masyarakat. Sejak itu posisi burgaining masyarakat meningkat, sehingga suara mereka jauh lebih ber “daya” sekurang-kurangnya disbanding dengan era sebelumnya. Bangsa Indonesia lalu memulai era baru dengan semagat membangun sistem yang demokratis. Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

  1. Sistem politik melaksanakan berbagai aktivitas yang ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah dirumuskan tersebut. Untuk melaksanakan aktivitas yang komplek itu, maka sistem politik memerlukan badan atau struktur-struktur yang akan bekerja dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang melaksanakan fungsi tertentu.
  2. Tokoh politik itu adalah seseorang yang dikenal masyarakat luas, karena jasanya, pemikirannya, idealismenya, dan perjuangannya selama perjalanan hidupnya.
  3. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi sedikit banyaknya mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Sehingga masyarakat dapat mengepresikan berbagai aspirasi.
  4. Sistem pemerintahan Orba di mulai pada tanggal 11 Meret 1966 sampai dengan 21 mei 1998. Selama 32 tahun pemerintah Soeharto memimpin negara RI, telah terjadi pemusatan kekuasaan negara di tangan presiden.
  5. Melihatnya secara dikotomis, bahwa reformasi adalah “buku putih,” sedangkan Orde Baru adalah “buku hitam” dalam sejarah kepolitikan Indonesia. Dimana Bahwasannya sejarah politik Orde Baru menghasilkan krisis memang tidak bisa dibantah, tetapi Orde Baru bukanlah sebuah fenomena politik yang monolitik, yang dijelaskan dengan menggunakan satu atau dua kata kunci saja. Orde Baru belakangan menanpilkan cirinya yang otoritarian. Namun sebenarnya Orde Baru juga tercatat memiliki komitmen menumbuhkan demokrasi terutama fase awal pertumbuhan Orde yang dipimpin oleh jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto ini. Namun berakhirnya Orde Baru Bangsa Indonesia lalu memulai era baru yaitu Era Reformasi dengan semagat membangun sistem yang demokratis. Era ini Nampak lebih menjanjikan ruang partisipasi bagi semua elemen masyarakat dalam berbagai kehidupan ekonomi, sosial maupun politik
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mumtaz, “Pakistan,” dalam shireen T. Hunter, edt., politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan,  Yogyakarta: Tiarawacana, 2001.
Antlov, Hans, dan Sven Cederroth, edt, Election in Indonesia: The New Orde and beyond,”London and New York: Routledge Curzon, 2004.
Elson, Robert, ‘Brief Reflection on Indonesia Political History,’ dalam Grayson Lloyd dan Shannon Smith edt., Indonesia Challenge of History, Singapore: ISEAS, 2003
Maliki Zainuddin, Agama priyayi, Yogyakarta: Pustaka Mawar, 2004-a. edt., Agama Rakyat Agama Penguasa, Yogyakarta: Galang Press, 2000. Penakluk Negara atas Rakyat, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999.
Sukarna, 1977. Sistem politik.Bandung: Penerbit Alumni.
Winarno, Budi., Sistem politik Indonesia, Era Reformasi. Yogyakarta: Penerbit MedPress, 2007
http://aisyaoyhaicuet.blogspot.com/2013/04/sejarah-politik-indonesia-masa-orde.html


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami hanturkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan seluruh anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pemakalah yang berjudul “ SEJARAH POLITIK INDONESIA ” dengan sebaik mungkin

Tiada segala kesempurna pada diri manusia, namun hanya ada usaha untuk menjadi lebih baik. Makalah ini pun pasti ada ketidak sempurnaan, akan tetapi didalam ketidak sempurnaan tersebut, sedikit banyaknya terurai pengetahuan yang dapat dijadikan suatu bahan kuliah sebagai tambahan ilmu.

Semua orang tahu bahwa kesuksesan tidak datang secara tiba-tiba namun diperlukan segala usaha yang baik dan disertai doa, setelah semuanya terlewati maka hasil yang diinginkan pun akan muncul. Hal yang terpenting jangan terlupakan yaitu “Membaca berarti kita sedang membuka jendela dunia, maka dari itu membacalah agar dirimu mulia”

Akhir kata, semoga isi makalah ini dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi kita semua. Tak lupa kami meminta kritik dan saran  agar tercipta makalah kami sempurna selanjutnya.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
B.     RUMUSAN MASALAH
C.     TUJUAN MASALAH

BAB II PEMBAHASAN

A.     PENULISAN SEJARAH POLITIK  INDONESIA
B.     PEMAHAMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU
1.      Periodisasi Politik Orde Baru
a.      Periode Honeymoon
b.      Periode Stalinist
c.       Periode keterbukaan
d.      Periode krisis
2.      Hubungan Lembaga-lembaga Politik Orde Baru
a)      Lembaga kepresidenan yang Dominan
b)      Lembaga peradilan yang tidak independen
3.      Hubungan Negara dan Masyarakat
4.      Praktik Negara hegemonik dan koersif
5.      Militer, Parpol dan dampaknya terhadap HAM
6.      Kebijakan Politik Aliran

C.     REFORMASI

D.    PERGESERAN POLITIK ERA REFORMASI

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Baca juga : 

0 Response to "Makalah Sejarah Politik Indonesia"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya