Makalah Analisa Kepemimpinan Presiden Dalam Rangka Penegakan Supermasi Hukum Di Indonesia



KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.

Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah Seminar Pemerintahan. Penulis sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Seminar Pemerintahan, Neti Sunarti, S.Pd.,S.IP,M.Si. dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.

Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin.

Penulis


BAB I PENDAHULUAN

Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 memperjuangkan adanya good governance and clean government. Tuntutan yang diajukan ini merupakan reaksi terhadap keadaan pemerintah pada era Orde Baru dengan berbagai permasalahan yang terutama meliputi pemusatan kekuasaan pada Presiden, baik akibat konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) maupun tidak berfungsi dengan baik lembaga tertinggi dan tinggi negara lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial.

Hampir empat belas tahun setelah dimulainya reformasi, keinginan untuk memperoleh good governance and clean government masih jauh daripada harapan. Berbagai kendala menampakkan diri dalam bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang simpang siur dan menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan letupan-letupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Dalam pada itu, secara konseptual telah berkembang prinsip pembangunan berkelanjutan yang mewarnai perkembangan dunia sejak KTT di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Prinsip tersebut telah dicantumkan baik dalam berbagai konvensi pada tingkat global, maupun dalam berbagai kesepakatan regional, kebijakan nasional, dan kebijakan lokal.

Hubungan antara good governance dan pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari sudut kelembagaan dan dari sudut sikap sumberdaya manusianya.




BAB II TINJAUAN DAN TEORITIS

Negara Indonesia adalah negara hukum [1]. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:

  1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
  2. Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
  3. Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
Utrecht mengemukakan, bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Menurut J.C.T Simorangkir, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, dengan hukuman tertentu. Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan yang penting, Roeslan Saleh menyatakan, bahwa:

“Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum itulah Pancasila”.

Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.

Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman dan tentram, diperlukan adanya aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat agar sesama manusia dapat berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan perselisihan antar sesama manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum diberlakukan terhadap siapapun yang melakukan perbuatan melanggar hukum.

Menurut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Substansi Hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l¬aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tiada suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.

Struktur Hukum/Pranata Hukum disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (LP). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.

Budaya/Kultur Hukum menurut Lawrence M. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.

Baik substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.

Jimly Asshiddiqie menuliskan dalam makalahnya, mengemukakan pengertian penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya ia mengemukakan pendapat, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari sudut subjek dan subjeknya:

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Dengan pemaparan latar belakang di atas, bahwa dalam penegakan hukum diperlukan adanya harmonisasi dari unsur-unsur, mulai dari subtansi/isi, struktur/aparaturnya, dan juga didukung oleh kulturnya. Namun, yang menjadi fokus penelitian pada makalah ini, kami ingin melihat penegakan hukum dalam aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, yang pada akhirnya menyimpulkan bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat dari tiga aspek tersebut.

BAB III PEMBAHASAN

Kebijakan dan strategi penegakan  supremasi hukum berorientasi pada  pelaksanaan kekuasaan kehakiman sesuai dengan amanat konstitusional di dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan  guna menegakkan  hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila  dan UUD 1945 demi terseleng- garanya negara hukum Republik Indonesia. Dengan demikian  pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman harus dilakukan secara independen, efektif dan berkeadilan. Melalui amanat konstitusional tersebut diharapkan akan dapat menggambarkan sejauh mana  strategi penegakan supremasi hukum itu akan menjadi  unsur utama dalam rangka ketahanan nasional.

Di dalam UUD 1945 disebutkan  bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Teori hukum memberikan tuntunan  analisis bahwa struktur  penegakan hukum mengandung unsur prosedural yang memberi arah pada mekanisme penegakan hukum dan keadilan, dan substansi penegakan hukum dan keadilan yang memberi arah bagi  kepastian hukum dan keadilan. Dengan perkataan lain bahwa  mekanisme tersebut harus mampu memberikan keadilan prosedural  dan dengan demikian kepastian hukum akan memberikan keadilan substantif.

Adalah menjadi pertanyaan  apakah keadilan prosedural dan keadilan substantif mempunyai kaitan dengan penegakan supremasi hukum. Kedua  jenis keadilan itu dengan supremasi hukum tanpaknya perlu dipersandingkan  agar memberikan gambaran konkrit mengenai posisi penegakan supremasi hukum bagi  ketahanan nasional.  Pada dasarnya  supremasi hukum itu berintikan keadilan hukum.  Sebelum lebih jauh menguraikan keadilan hukum, perlu sebelumnya  menguraikan  jalan dimana keadilan hukum itu harus berpijak sehingga keadilan hukum yang mana dan yang bagaimana yang dibutuhkan bagi Indonesia.

Di dalam sejarah konstitusi Indonesia  dikenal prinsip bahwa  Negara  Indonesia ialah rechtsstaat yang diidentikkan dengan konsep negara hukum dalam sistem konstitusi continental europe, yang memberikan tekanan khusus pada kepastian hukum, persamaan, demokrasi dan pemerintahan yang melayani kepentingan umum. Banyak juga yang berpendapat bahwa rechtsstaat diinterpretasikan dengan cenderung seperti yang dimaksudkan oleh  konsep rule of law yang dikembangkan di dalam sistem konstitusi negara Anglo Saxon yang memberikan perhatian utama pada  supremasi hukum, equality before the law , dan konstitusi yang diorientasikan pada hak-hak perseorangan. Sekalipun pandangan individualistik mendominasi kedua  sistem tersebut, namun terdapat perbedaan yang menonjol.  Diberinya peran peradilan administrasi negara sebagai ciri yang menonjol di dalam konsep rechtsstaat karena kurangnya kepercayaan masyarakat pada peradilan umum dan terutama perbuatan melanggar hukum yang dilakukan pemerintah.  Sementara itu di dalam sistem  rule of law  tidak diberi peran sedikit pun kepada peran peradilan administrasi negara sebagai ciri utama prinsip rule of law dan dengan demikian memang menaruh kepercayaan besar kepada peradilan umum untuk semua permasalahan hukum, termasuk perbuatan melanggar hukum dari pemerintah.

Dapat dilihat bahwa kesamaan penting di dalam kedua konsep tersebut di atas adalah kecenderungan pemikiran  individualistik, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh pemikiran liberalistik yang berujung pada ditegakkannya keadilan individual dimana hak subyektif yang menjadi ukuran lahirnya keadilan hukum di dalam setiap pengaturan mengenai hukum obyektif. Dibandingkan dengan  Indonesia yang di dalam UUD 1945 menganut rechtsstaat yang diidentikkan dengan negara hukum    sudah barang tentu tidak ada kecenderungan pada pemikiran individualistik.

Dengan ditempatkannya Pancasila  pada pucuk piramid sistem hukum nasional sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka pemikiran individualistik apalagi yang liberalistik tidak mendominasi peri kehidupan bangsa dan negara. Pancasila mengandung ragam rechts idea  atau cita hukum yang tidak hanya individualistik akan tetapi sebaliknya  mengandung idea Ketuhanan Yang Maha Esa, persatuan dalam kontek pluralistik dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan cita hukum yang menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Karena itu sistem hukum nasional dalam konsep negara hukum Indonesia tidak seperti yang dimaksud dalam sistem rechtsstaat  dari  continental europe dan bukan pula seperti yang dimaksud konsep rule of law dari negara Anglo Sexon, akan tetapi konsep negara hukum Pancasila. Dari sana lah rujukan untuk memberi warna yuridis pada keadilan hukum dalam penegakan supremasi hukum.
Bagaimana strategi penegakan supremasi hukum yang berintikan keadilan hukum dalam konsep negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Penegakan supremasi hukum bukanlah dominasi pelaku kekuasaan kehakiman. Akan tetapi justru harus dilakukan oleh seluruh komponen negara. Dalam studi ilmu negara di sana dipelajari mengenai asal mula negara dan juga menyinggung komponen negara.  Dalam studi ilmu hukum tata negara di sana dipelajari juga mengenai konstitusi dan konstruksi negara di dalam konstitusi itu. Secara umum dapat dilihat bahwa tatkala  kata negara, disebut, maka ketika itu dipahami bahwa komponen pokok dari suatu negara adalah wilayah kedaulatan negara, pemerintahan negara, dan rakyat negara.

Di dalam tiga komponen pokok negara tersebut harus dilakukan penegakan supremasi hukum. Secara khusus di dalam pemerintahan negara, terdapat tiga kekuasaan negara, yaitu kesatu, kekuasaan legislatif yang implementasinya di Indonesia diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kedua, kekuasaan eksekutif, yang di dalamnya terdapat lembaga kepresidenan yaitu presiden dan wakil presiden, berserta para pembantunya dalam tataran penyelenggaraan pemerintah negara, yang secara organisatoris diimplementasikan dalam bentuk kementerian negara dan non kementerian. Ketiga adalah kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, serta sebuah mahkamah konstitusi.

Uraian di atas menunjukkan bahwa  penegakan supremasi hukum pada tataran pelaksanaan hukum dilakukan oleh seluruh kekuasaan negara yang terbagi itu. Penegakan  supremasi hukum dalam tataran kekuasaan eksekutif harus mengambil strategi yuridis berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam lingkaran legal policy nya. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya  abuse of power dan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan melawan hukum.  Legal policy sebagai kerangka strategis bagi kekuasaan eksekutif adalah pola kinerja yang konstitusional dan yuridis yang legistik, dan sejauh mungkin perlu dihindari kedekatannya dengan  kinerja yang serba legalistik, yang pada gilirannya akan keluar dari legal policy sehingga yang ada hanyalah policy yang rentan dengan kemungkinan dapat menyerempet proses kriminalisasi .

Kekuasaan kehakiman melakukan penegakan supremasi hukum melalui proses hukum pada tiap lingkungan dalam jenjang peradilan. Tata peradilan dengan segala kompleksitasnya  berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi  dalam bidang pembinaan tehnis peradilan, administrasi, organisasi dan finansial peradilan terhadap semua pengadilan negara dalam lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.

Langkah strategis yang dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara,  tidak lain dari pada yang telah digariskan secara konstitusional, dan ketentuan undang-undang terutama mengenai segi keadilan prosedural. Selain dari yang demikian  dilakukan berbagai prinsip kerja yudikatif secara konseptual  dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagai upaya untuk menegakkan keadilan substantif.

Untuk menjamin dan mendukung terjaminnya  penegakan supremasi hukum pada tiap jenjang pengadilan,  telah menyiapkan Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Republik Indonesia  dan berimplikasi langsung pada pembinaan peradilan dalam berbagai aspek tehnis hukum dan peradilan, administrasi dan organisasi peradilan serta sistem keuangan peradilan termasuk biaya perkara sebagai penerimaan negara bukan pajak.

Menyangkut pembinaan tehnis hukum, dikembangkan terus secara berkelanjutan pemahaman mengenai hubungan kepastian hukum dan keadilan. Bahwa keadilan tidak muncul sedemikian rupa tanpa melalui kepastian hukum dan sebaliknya hanya kepastian hukum saja tindak mungkin melahirkan keadilan. Keadilan prosedural dan keadilan substantif harus berjalan seiring dengan garis kepastian hukum, karena kedua jenis keadilan itu tidak mungkin dapat diberikan kepada masyarakat tanpa berpegang teguh pada kepastian hukum. Kewenangan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum secara institusional yang berkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman harus berjalan di atas rel hukum yang legistik dan karena itu harus dhindari kemungkinan bergeser ke rel hukum yang legalistik karena rel ini berada dalam kekuasaan kehakiman. Dari yang  tergambar di atas betapa pelaksanaan fungsi penegakan hukum itu demi kepastian hukum harus terhindar dari berbagai intervensi eksternal apalagi intervensi politik.

Di dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, secara legistik diatur bahwa hakim yang berada pada tiap jenjang pengadilan adalah pejabat negara pelaksana kekuasaan kehakiman. Hakim harus memiliki pemahaman yang kuat dan konprehensif mengenai hubungan timbal balik kepastian hukum dengan keadilan sehingga mendapat arah yang tepat dan benar dalam menerapkan hukum. Selain dari pada itu hakim dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam memahami dan menafsir hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan hukum sehingga pada gilirannya ia dapat menciptakan hukum  ketika berhadapan dengan kompleksitas permasalahan hukum  dalam proses peradilan sejalan dengan perkembangan kehidupan sosial  kemasyarakatan. Hal itu berkaitan dengan berbagai jenis keadilan yang ditegakkan  melalui kepastian hukum dalam proses peradilan seperti: (1) keadilan distributif yang menekankan proporsionalitas, sementara (2) keadilan kumutatif yang menekankan pada persamaan antara prestasi dan kontraprestasi, (3) keadilan vindikatif yang menjatuhkan hukuman atas ganti kerugian dalam tindak pidana, (4) keadilan korektif yang berorientasi pada pembetulan yang berusaha memberikan kompensasi atas kerugian yang proporsional  akibat dari suatu tindak pidana, Kemudian (5) keadilan retributif  yang menekankan pada hukuman yang proporsional dengan besar kecilnya tindak pidana yang dilakukan seperti kejahatan kecil dipidana ringan dan kejahatan besar dipidana berat dimana pola itu tidak saja berlaku di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman tetapi juga dapat diterapkan dalam lingkungan kekuasaan  lain.

Penegakan supremasi hukum dalam proses peradilan  sesuai dengan perkembangan hukum dan peradilan, restorative justice atau keadilan restoratif telah menjadi pilihan. Keadilan restoratif memusatkan perhatiannya pada kejahatan yang menentang individu dan masyarakat dari pada negara. Korban memegang peran penting dan dapat menerima restitusi dari pelaku pelanggaran atau kejahatan.Dalam keadilan ini, pelaku kejahatan dan pelanggaran  diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada korban secara proporsional. Untuk mewujudkan keadilan restoratif,  dalam bidang pidana dapat dilakukan mediasi pidana baik dalam proses litigasi maupun non litigasi.  Untuk jenis non litigasi, secara legistik telah dilakukan melalui ketentuan undang-undang seperti yang diatur di dalam Undang-undang   yang mengatur mengenai otonomi khusus Papua, penyelesaian sengketa  secara adat di daerah-daerah  yang pernah terjadi persengketaan etnis, agama atau lainnya.

Di dalam  sengketa perdata, mediasi perdata sebagai bentuk  keadilan restoratif  telah  mampu menyelesaikan sengketa perdata tanpa litigasi dalam waktu yang cepat dan biaya ringan. Dengan demikian bahwa  prinsip penyelenggaraan peradilan  dengan sederhana, cepat dan biaya ringan di dalam sistem petadilan Indonesia adalah merupakan juga implementasi  dari keadilan restoratif. Dengan demikian terlihat bahwa  local wisdom  atau kearifan lokal menjadi bentuk hukum yang legalistik yang diterapkan melaui  keadilan restoratif sehingga bukan saja memberikan keadilan  hukum atau  legal justice tetapi juga sekaligus memberikan social justice dan kepuasan yuridis maupun kepuasan sosial

BAB IV KESIMPUAN DAN SARAN

Bahwa dari pembahasan di atas, kami menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejak lama para pencari keadilan/masyarakat mendambakan penegakan hukum yang adil. Namun, dalam praktik penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini, pengutamaan nilai kepastian hukum lebih menonjol dibandingkan dengan rasa keadilan masyarakat. 

Maka, kami memberi masukan dan jalan keluar, bahwa dalam hal substance/perundang-undangan, misalnya dengan melakukan upaya-upaya perbaikan/pembaruan terhadap perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yg ada dalam masyarakat (contohnya: pengesahan RUU KUHP), meng-amandemen UUD oleh lembaga legislative, uji materiil UU dengan UUD NRI 1945 di MK, ataupun uji materiil peraturan yang ada di bawah UU dengan UU di MA. Perbaikan dalam hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan dalam pembentukan character building (pembinaan ESQ) dan keagamaan serta peningkatan SDM, sehingga aparatur penegak hukum di Indonesia memiliki mental yang kuat dan mampu mengemban amanat sesuai rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam perbaikan legal culture dalam masyarakat, apabila secara substance dan struktur sudah berjalan dengan baik, maka legal culture pun akan mengikuti dengan sendirinya. 

 DAFTAR PUSTAKA

  • Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia  (Jakarta: Gramedia, 1995).
  • J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenhallindo, 2007)
  • Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)
  • Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008)
  • Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005)
  • Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010)
  • Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996)


0 Response to "Makalah Analisa Kepemimpinan Presiden Dalam Rangka Penegakan Supermasi Hukum Di Indonesia"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya