Makalah Hakikat Ketunagrahitaan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemahaman masyarakat umum mengenai anak berkebutuhan khusus masih sangat minim, kebanyakan mereka menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang tidak memiliki kemampuan apapun. Salah satu dari mereka adalah anak tumagarahita. Anak tunagrahita adalah kondisi anak yang kecerdasannya jauh dibawah rata – rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal.

Namun walaupun begitu anak tunagrahita juga memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya. Salah satu hak itu adalah mendapatkan pendidikan. Karena selain memiliki hambatan intelektual, mereka juga masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh mereka dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal tersebut diatur dalam UUD’45 pasal 31 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. Hal tersebut lebih diperjelas lagi dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat 2, dan pasal 33 ayat 1, menyatakan bahwa warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Oleh karena itu sangat diperlukan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita.

B. Tujuan

  1. Mengetahui hakekat anak tunagrahita
  2. Mengerti macam-macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita
  3. Mengetahui layanan pendidikan anak tunagrahita di indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

A. HAKIKAT KETUNAGRAHITAAN

a. Definisi Anak Tunagrahita

Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.

Menurut Efendi anak tunagrahita adalah “anak yang mengalami taraf kecerdasan yang rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangan ia sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus”.

Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan oleh Grossman yang secara resmi digunakan AAMD (American Association of Mental Deficiency) yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata (signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa perkembangan.

Menurut Hj.T.Sutjihati Somantri, anak tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan, sehingga tidak mencapai perkembangan yang optimal. Sedangkan menurut Bratanata, seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika anak tuna grahita memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.

b. Karakteristik Anak Tunagrahita

Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya, perkembangan bicara/bahasanya terhambat, kurang perhatian pada lingkungan, koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar. Selain itu ada beberapa pendapat dari orang ahli dari seluruh dunia, yaitu:
1. James D Page yang dikutip oleh Suhaeri H.N (Amin: 1995) menguraikan karakteristik anak tunagrahita sebagai berikut :
  • a. Kecerdasan. Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote-learning) bukan dengan pengertian.
  • b. Sosial. Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya, dan diawasi waktu bermain dengan anak lain.
  • c. Fungsi-fungsi mental lain. Mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi baru.
  • d. Dorongan dan emosi. Perkembangan dan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing. Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
  • e. Organisme. Struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara diusia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan di antaranya banyak yang mengalami cacat bicara.
c. Batasan Tunagrahita
  1. The American Association on Mental Deficiency (AAMD, 1983):
    Bahwa seseorang anak dikategorikan tunagrahita apabila memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) fungsi intelektual umum (kecerdasannya) di bawah rata-rata secara sigifican (jelas, nyata), ditafsirkan mempunyai tingkat kecerdasan (IQ) 70 atau di bawahnya, (2) mengalami hambatan dalam daptasi tingkah laku sesuai tuntutan budaya dimana ia tiinggal, dan (3) terjadinya selama periode perkembangan mental, yaitu sampai usia kronologis 18 tahun. Dengan demikian, jika anak itu tidak memiliki ketiga karakteristik tersebut atau hanya kurang sedikit dari anak lain yang normal, maka tidak termasuk tunagrahita.
  2. Menurut AAMR (1992)
    Tunagrahita merujuk kepada fungsi intelektual umum yang berada di bawah rata-rata secara signifikan (merujuk kepada hasil tes inteligensi individu, berarti skor IQ dua standard deviasi atau lebih di bawah rata-rata) yang berkaitan dengan hambatan dalam perilaku adaptif (merujuk kepada: derajat dimana terpenuhi standard individu dari independensi personal dan respansibilitas sosial yang diharapkan dari umur dan kelompok budaya, atau merujuk kepada 10 keterampilan adaptif, yaitu: komunikasi, merawat diri, kehidupan keseharian, keterampilan sosial, penggunaan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, waktu luang, dan karya) yang terjadi selama periode perkembangan (dari lahir sampai usia 18 atau 22 tahun).
B. Klasifikasi Tunagrahita

  1. Cara Pandang Lama
    Di Indonesia, istilah yang digunakan untuk pengklasifikasiannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) N0. 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa (PLB) Pasal 3 ayat (3), dinyatakan bahwa anak tunagrahita diklasifikasikan menjadi dua: (1) tunagrahita tingkat ringan dan (2) tunagrahita tingkat sedang..
  2. Cara Pandang Baru
    Dengan dilandasi filosofi pendidikan untuk semua (Education for All), maka pada dasarnya semua anak (termasuk tunagrahita) mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang sesuai untuk pengembangan dirinya.
C. Karakteristik Umum Tunagrahita 

Menurut Kartono dalam Natawijaya, R. (1996), terdapat lima karakteristik umum anak tunagrahita, yaitu: (1) lambat dalam memberikan reaksi, yaitu perlu waktu lama untuk bereaksi atau memahami sesuatu yang baru, (2) rentang perhatiannya pendek, tidak dapat menyimpan perintah (stimulus) dalam ingatan dengan baik, (3) terbatas kemampuan berbahasanya, mudah terpengaruh pembicraan orang lain, terbatas dalam konsep persamaan dan perbedaan, maupun konsep besar dan kecil, (4) kurang mampu mempertimbangkan sesuatu, membedakan baik – buruk, benar – salah, atau konsekuensi dari suatu perbuatan, dan (5) perkembangan jasmani dan kecakapan motoriknya kurang.

  1. Karakteristik Tunagrahita Sedang
    Menurut Amin, M. (1990) anak tunagrahita sedang tidak bisa mempelajari pelajaran-pelajaran akademik. Mereka umumnya belajar secara membeo. Perkembangan bahasanya sangat terbatas, hampir selalu bergantung, pada orang lain, dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya, masih mempunyai potensi untuk belajar memelihara diri dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang mempunyai arti ekonomi. Pada usia dewasa anak tunagrahita sedang baru mencapai usia kecerdasan yang sama dengan anak normal umur 7 atau 8 tahun.
  2. Karakteristik Tunagrahita Ringan
    Karakteristik kecerdasan berpikir anak tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12 tahun (Amin, 1995:37). Mereka memiliki tingkat kecerdasan paling tinggi diantara kelompok tunagrahita, dengan IQ berkisar 50–70; meskipun kecerdasan dan adaptasai sosialnya terhambat, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. 
D. Tempat/Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita

a. Sekolah Segregasi
Tarsidi, D (2008) memberikan pandangannya tentang sistem pendidikan segregasi sebagai berikut: perspektif psikososial anak luar biasa (ALB) dalam seting segregasi mungkin dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan memenuhi kebutuhan khusus ALB secara akademik, namun cenderung memisahkan ALB dari lingkungan sosialnya (keluarga), dan kurang memberi kesempatan ALB untuk bersosialisasi secara lebih luas. Maka kemungkinan suatu saat ”segregasi” tidak memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal ALB.

b.Sekolah Integrasi (Terpadu)
Integrasi adalah penyediaan pendidikan yang berkualitas bagi siswa-siswa dengan kebutuhan khusus di sekolah biasa. Dalam sistem pendidikan integrasi ABK mempunyai kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler bersama anak-anak pada umumnya. Akan tetapi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler ini mereka harus memenuhi persyaratan tertentu, misalnya IQnya normal, tidak memiliki gangguan perilaku, tidak ada hambatan komunikasi dan sebagainya. Dengan kata lain mereka dapat sekolah di sekolah reguler jika mampu menyesuaikan diri dengan sistem yang ada di sekolah tersebut.

Bagi anak tunagrahita integrasi yang dimaksud lebih mengarah kepada upaya agar anak terbiasa hidup dalam lingkungan yang lebih luas, berbaur, dapat diterima, dan dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman lain, masyarakat pada umumnya.

E. Metode Deteksi Ketunagrahitaan

Metode yang digunakan bukanlah metode khusus, melainkan juga metode yang biasa digunakan dalam penelitian (psikologi), yaitu observasi, tes psikologi (tes intelegensi) hanyalah sebagai pendekatan, karena hasilnya belum tentu tepat; tes buatan, dan diagnosa diferensial. Data hasil observasi dan tes psikologi atau tes buatan dikumpulkan dan dibandingkan dengan usia anak sebenarnya.
  1. Observasi
    Melalui observasi dapat diketahui tentang status ketunagrahitaan seseorang juga status tentang: emosinya, bicaranya, dan motoriknya. 
  2. Tes Buatan
    Pada prinsipnya ini merupakan observasi lanjutan, dimana observer menciptakan situasi yang mengundang anak untuk membuktikan kemampuannya. Di sini anak diminta melakukan tugas sesuai dengan umurnya, jika mampu dilanjutkan dengan tugas umur berikutnya, seterusnya, sampai anak tidak dapat melaksanakannya lagi. Jika anak tidak mampu melaksanakan tugas sesuai umurnya, diberikan tugas untuk umur sebelumnya, seterusnya, sampai anak dapat melaksanakan tugas. Umur mental (MA) yang diperoleh akan bergerak antara mulai dapat melaksanakan sampai tidak dapat melaksanakan. Bahannya diambil dari beberapa tes psikologi. Hasilnya untuk melengkapi informasi/data dari observasi.
  3. Tes Psikologi – Tes Intelegensi – Standardized
    Tes intelegensi ini ”standarddized”, memiliki tingkat validitas dan reliabelitas tinggi, segalanya sudah tetap, instruksinya, penghitungan hasil dan pengolahannya pun sudah ditentukan, perangkatnya sudah dicetak. Namun tes ini karena dikembangkan di negara lain, mungkin mengandung bias budaya, karenanya perlu modifikasi kondisi setempat. Penggunaannya harus hati-hati, ini hanyalah sebagai pendekatan, karena hasilnya belum tentu tepat.Terdapat bermacam-macam tes, misalnya tes iintelegensi dari Binet-Simon, yang kemudian direvisi oleh Wechsler: (1). WISC – R (Wechsler Intellegence Scale for Children – yang direvisi); (2). WAIS (Wechsler Adult Intellegence Scale), Raven’s Matrics, dsb. Dalam tes Binet-Simon, anak yang tergolong terbelakang: (1) Debil mempunyai IQ 50 – 70; (2) Imbecil 30 – 50; dan (3) Severelly Mentally IQ kurang dari 30. Angka¬angka ini diperoleh dari tabel tes, dimana IQ = MA/CA X 100.
    - CA, dilihat dari hari/tanggal kelahirannya. MA melalui tes intelegensi, testee dites mulai dari item-item untuk umur yang paling rendah, berturut-turut diberikan item untuk umur-umur berikutnya, sampai pada item untuk suatu umur dimana testee tidak dapat menyelesaikan seluruhnya.
    - BINET, menggunakan pedoman selisih tetap, jika MA 2 atau lebih kurangnya dari CA-nya, maka tergolong “kurang dari normal”.
    - STERN, menggunakan “perbandingan tetap” ~ lahirlah konsep IQ (Intelligence Quotient) = MA:CA X 100
    - Tes Intelegensi: Binet-Simon, WISC, WAIS, CPM, Test menggambar Goodenough Harris Drawing Test

Isi tes Intelegensi mencakup: (1) Verbal Tes (Information, Comprhension, Arithmatic, Similarities, dan digit span), (2) Performance Test (picture completion, picture arrangement, block design, object assembly, dan coding).

F. Paradigma Baru Pendidikan Luar Biasa
Secara konseptual, dengan diterapkannya pendidikan inklusif memungkinkan ABK bersekolah di sekolah mana pun sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi kenyataannya belum banyak sekolah di Indonesia yang siap menerima ABK dengan berbagai alasan baik alasan teknis maupun non-teknis. Tidak ada peralatan khusus, guru tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengajar ABK, hadirnya ABK dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan sebagainya sering menjadi alasan untuk tidak menerima ABK.

Menurut Tarsidi, D. (2008) pendidikan inklusif: adalah pendidikan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak (termasuk ALB) untuk belajar bersama-sama dalam lingkungan belajar yang sama, dimana semua anak memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kebutuhan khusus setiap anak diperhatikan dan dipenuhi. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang ramah dan inklusif serta mencapai pendidikan bagi semua. (Didi, T., JASSI, 2005: 199), sehingga menjadikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan efisien, yang pada akhirnya akan menurunkan ongkos bagi seluruh sistem pendidikan (Pernyataan Salamnca).

Keberhasilan Pendidikan Inklusif dapat dicapai apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
a. Sikap dan keyakinan yang positif (guru reguler, orang tua, GPK)
b. Tersedianya program untuk memenuhi kebutuhan spesifik ALB
c. Tersedianya peralatan khusus dan teknologi asistif untuk mengakses program kurikuler.
d. Lingkungan fisik diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi ALB.
e. Dukungan sistem (dari Kepsek, personel, kebijakan & prosedur).
f. Kolaborasi: Guru reguler-interdisipliner-GPK-spesialis
g. Metode pengajaran (team teaching, cross-grade grouping, peer tutoring, teacher assistance team) oleh guru profesional.
h. Dukungan masyarakat (adanya kesadaran masyarakat).

G. Pendekatan Pembelajaran Anak Tunagrahita

  1. Asesmen
    Asesmen adalah proses yang sistematis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam konteks pendidikan asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan hambatan/kesulitan yang dihadapi seseorang saat ini, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Tujuan utamanya untuk menentukan bagaimana keadaan anak saat ini. Berdasarkan hasil asesmen program pendidikan yang diindividualisasikan (PPI) atau Individualized Educational Program (IEP) disusun dan dikembangkan (Mc.Loughlin, Lewis: 1986; Gillet, Temple: 1989; Rochyadi: 2005: 64-65)
  2. Program Pembelajaran Individualisasi (Individualized Educational Program) Individualisasi pengajaran merupakan pendekatan yang senantiasa harusdkembangkan dalam pembelajaran anak luar biasa (tunagrahita). Melalui pengajaran yang diindividualisasikan, maka berarti program pengajaran yang akan diberikan diupayakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan karakteristik setiap anak tunagrahita. Menurut Schulz (1984: 85-88) prosedur individualisasi pengajaran meliputi: menentukan tujuan jangka panjang, menentukan tujuan pembelajaran khusus, dan menentukan kriteria, prosedur evaluasi. 
  3. Task Analysis (Analisis Tugas)
    Setiap tindakan yang ditunjukkan individu merupakan satu kesatuan dari unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Setiap tindakan dapat dipenggal menjadi unsur-unsur, dan setiap unsur dapat dipecah menjadi bagian¬bagian kecil. Untuk PBM yang bersifat behavioral, analisis tugas merupakan pendekatan yang tepat. Dalam analisis tugas akan dihasilkan satuan-satuan tugas yang berurutan dan sistematis. Setiap langkah dari analisis tugas merupakan komponen esensial yang harus dikerjakan satu demi satu. Indikator keberhasilannya yaitu apabila anak dapat melakukan (misalnya, mengenakan baju) secara benar tanpa bantuan sesuai urutan tugas yang telah ditentukan.
H. Pendidikan Anak Tunagrahita di indonesia

Di Indonesia perkembangan pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus dimulai sebelum masa kemerdekaan yaitu dengan berdirinya, untuk pertama kali, Lembaga Penyandang Cacat Tunanetra di Bandung pada tahun 1901. Pada 1927 dibuka sekolah bagi anak tunagrahita di kota yang sama dan pada saat yang hampir bersamaan didirikan sekolah khusus bagi anak tunarungu pada 1930 di Bandung juga.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah RI mengundang-undangkan yang pertama mengenai pendidikan khusus. Mengenai anak- anak yang mempunyai kelainan fisik atau mental , undang – undang itu menyebutkan pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan ( pasal 6 ayat 2 ) dan untuk itu anak –anak tersebut ( pasal 8) yang mengatakan semua anak – anak yang sudah berumur 6 tahun dan 8 tahun berhak dan diwajibkan belajar disekolah sedikitnya 6 tahun dengan ini berlakunya undang – undang tersebut maka sekolah – sekolah baru yang khusus bagi anak – anak penyandang cacat.

Kemudian pada tahun 2003 pemerintah mengeluarkan undang- undang no 20 tentang system pendidikan nasional ( UUSPN ). Dalam undang – undang tersebut dikemukakan hal- hal yang erat hubungan dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, beberapa diantaranya sebagai berikut :

  • Bab IV ( pasal 5 ayat 1 ) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik,emosionl,mental,intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.\
  • Bab V bagian 11 Pendidikan khusus (pasal 32 ayat 1 ) Pendidikan khusus bagi peserta yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,emosional,mental,sosial atau memiliki potensi kecerdasan.
Dan untuk anak tunagrahita, di indonesia telah ada berbagai layanan pendidikan yang disediakan agar anak tunagrahita bisa mendapatkan pendidikan seperti halnya anak pada umumnya. Ada berbagai macam layanan pendidikan bagi anak tunagrahita saat ini, contohnya SLB C, sekolah inklusif dan masih banyak lagi. Di Indonesia pendidikan yang inklusif atau menuju inklusif pun terus digencarkan, setidaknya mulai 2001 pendidikan inklusi telah menjadi program Direktorat Pendidikan Luar Biasa yang bertugas untuk mengatur pelaksanaan pendidikan luar biasa tidak hanya di SLB namun juga di sekolah-sekolah reguler, termasuk salah satunya adalah membekali para guru di semua sekolah reguler dengan pengetahuan dan keterampilan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Beberapa sekolah pun baik itu SD, SMP, dan SMA reguler telah ditunjuk menjadi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Walaupun memang dalam pelaksanaannya masih terdapat hambatan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hakikat dari anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi dan ketidak cakapan dalam interaksi social sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya.
Ada berbagai macam layanan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita, diantaranya yaitu :
  1. Kelas Transisi
  2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
  3. Pendidikan Terpadu
  4. Program sekolah di rumah
  5. Pendidikan Inklusif
  6. Panti (Griya) Rehabilitasi
Di indonesia pendidikan khusus yang ditujukan bagi anak tunagrahita sudah banyak tersedia di berbagai tempat. Terutama sekolah-sekolah inklusif yang mulai digencarkan mulai tahun 2001 dan saat ini telah dilakukan di seluruh indonesia.

B. Saran
Masyarakat sebaiknya diberi penyuluhan mengenai sekolah inklusif dan program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat dapat memberikan anaknya terapi. Jadi anak yang memerlukan pendidikan khusus seperti anak tunagrahita dapat mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA 
  • http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2120490-pendidikan anak berkebutuhan khusus/#ixzz2Da05Zmdy
  • http://mukliskurniawan.blogspot.com/2012/03/hakikat-ketunagrahitaan.html
  • http://dediharyadi89.wordpress.com/6-2/


0 Response to "Makalah Hakikat Ketunagrahitaan"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya