Tugas Organisasi dan Administrasi Internasional : Masa Pemerintahan Jokowi Dilihat Dari Aspek Pengembangan Budaya Politik Internasional
Dapat tugas dari Dosen, suruh buat tugas buat analisis tentang masa pemerintahan Jokowi dilihat dari aspek - aspek berikut :
- Pengembangan Budaya Politik Internasional
- Pengembangan Ekonomi Internasional
- Pengembangan Komunikasi Politik Internasional
- Pengembangan Pertahanan Keamanan Internasional
- Pengembangan Kerjasama Internasional
Dari tugas tersebut pilih salah satunya, dan yang akan dianalisis atau dipilih disini adalah tentang Masa Pemerintahan Jokowi dilihat dari aspek pengembangan budaya politik internasional.
Pembahasan - Analisis
POLITIK luar negeri RI dalam tiga tahun di bawah pemerintahan Presiden Jokowi secara prinsip dapat dideskripsikan sebagai mobilisasi dukungan global mengabaikan kecondongan ideologis negara-negara mitra untuk maksimalisasi pencapaian kepentingan nasional.
Kepentingan nasional, sesuai kecondongan presiden, yakni membangun RI sebagai poros maritim yang kompetitif.
Setelah tiga tahun berjalan nyaris tanpa kritik, politik luar negeri menjadi sasaran kritik terkait tragedi Rohingya di Myanmar.
Kritik, yang semula dimaksudkan untuk menjatuhkan pamor pemerintah, justru menjadi dukungan menguatkan.
Tantangan dan arah kebijakan
Dengan dukungan SDA,lingkungan strategis dan prinsip-prinsip bernegara yang telah diletakkan para pendiri bangsa, Indonesia seharusnya telah menjadi bagian dari liga negara maju.
Berada deretan peringkat atas dari liga negara-negara industri baru, bukan dalam deretan negara-negara berkembang, meskipun bukan yang terburuk.
Presiden Jokowi bertekad menjadikan Indonesia negara maju, kompetitif, dan memiliki mentalitas baru.
Visi ini disebut sebagai Nawa Cita, yang secara umum adalah revitalisasi tiga dokumen, yakni: Trisakti, UUD 1945, dan Deklarasi Djuanda.
Trisakti mengamatkan berdaulat di bidang politik, mandiri bidang ekonomi, dan berkebudayaan Indonesia.
UUD 1945, bagian preamble, mengamatkan, "Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Deklarasi Djuanda menegaskan Indonesia sebagai negara maritim dalam sebuah kesatuan wilayah daratan dan laut sebagai wawasan Nusantara.
Visi ini, dalam politik luar negeri, diterjemahkan dalam arah kebijakan menjadikan RI kekuatan maritim yang diperhitungkan.
Seperti dirumuskan dalam Rentra Kemenlu 2015-2019, 'Dalam lima tahun ke depan, politik luar negeri RI akan dititikberatkan pada mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerja sama internasional, menguatkan diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dengan keterlibatan global secara selektif, memperluas mandala keterlibatan regional di kawasan Indo Pasifik.
Dan meningkatkan pelibatan peran, aspirasi, dan kepentingan masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri, serta menata infrastruktur diplomasi.'
Arah kebijakan politik luar negeri ini pertama kali muncul dalam dokumen quick wins yang dibahas presiden dan kabinetnya pada sidang Kabinet Kerja yang pertama Oktober 2014, dengan poin-poin arah kebijakan politik luar negeri, yakni Launching Doktrin Poros Maritim Dunia (2014), Deklarasi Kerja Sama Negara-Negara Maritim (2014), Perumusan Peran Indonesia dalam G-20, dan Evaluasi Perwakilan Indonesia di Luar Negeri.
Politik luar negeri ditempatkan dalam integrasi dengan kementerian yang lainnya melalui tiga kata kunci: perdagangan, maritim, dan investasi.
Diplomasi ekonomi
Diplomasi ekonomi menjadi basis politik luar negeri dengan orientasi baru seperti dideskripsikan di atas.
Ini sebuah terminologi baru dalam perjalanan panjang diplomasi RI yang untuk waktu lama didominasi isu-isu keamanan dan politik.
Menilik konsep, sasaran, dan cara pelaksanaan, diplomasi ekonomi merupakan pengembangan lebih lanjut dari diplomasi kebudayaan yang dilaksanakan Kemenlu tahun 1980-an dan 1990-an dan diplomasi publik Kemenlu awal 2000-an.
Diplomasi ekonomi ialah memberi bobot ekonomi dan bisnis dari aktivitas diplomasi.
Seperti dituliskan di dalam Renstra Kemenlu (2015-2019), 'Diplomasi Indonesia di berbagai forum ekonomi selama ini memperlihatkan bahwa penekanan yang berbeda pada aspek politik atau aspek ekonomi menghasilkan keputusan yang berbeda, sehingga perlu upaya untuk menyeimbangkan antara kedua aspek tersebut agar keduanya dapat berjalan seiring dan saling mendukung'.
Praktik diplomasi ekonomi ditunjukkan secara mencolok oleh presiden pada tiga pertemuan internasional di akhir tahun 2014, yakni: KTT APEC 2015 di Beijing, China, 10-11 November; KTT ASEAN ke-25 di Naypidaw, Myanmar, 12-13 November; dan KTT G-20 di Brisbane, Australia, pada 15-16 November.
Presiden memanfaatkan forum ini untuk menggalang kemitraan ekonomi dalam proyek infrastruktur dan kerja sama ekonomi lainnya.
Pendekatan yang menekankan kepentingan domestik terus dipertahankan hingga sekarang, dan justru menjadikan politik luar negeri berjalan nyaris tanpa kritik.
Diplomasi ekonomi memiliki tiga tujuan, yakni menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri, dan mendatangkan turis asing.
Kehadiran Presiden Joko Jokowi' Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC, ASEAN, dan G20 merupakan ujian pertama, langsung, dan nyata bagi reorientasi politik luar negeri Indonesia (Polugri) pada 2014-2019. Orientasi polugri pemerintahan Jokowi tidak lagi menganut thousand friends zero enemies seperti pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Reorientasi polugri di era pemerintahan Jokowi mengarahkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Pelaksanaan reorientasi itu tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Reorientasi lebih diarahkan pada upaya mengambil manfaat sebesar-besarnya dari diplomasi Indonesia (termasuk pada ketiga KTT itu) bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam rangka itu, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi telah mencanangkan 'diplomasi untuk rakyat' (diplomacy for people atau people's diplomacy). Diplomasi ini sebagai komitmen serius Menlu Retno mewujudkan visi dan misi Presiden Jokowi dalam polugri. Melalui diplomasi untuk rakyat ini, orientasi diplomasi Jokowi tentu saja diharapkan dapat memberikan warna berbeda dalam praktek diplomasi ekonomi pada ketiga KTT itu.
Pada KTT APEC di Beijing, Presiden Jokowi telah melakukan beberapa terobosan diplomatik. Pertama, Jokowi menunjukkan praktik riil diplomasi ekonomi untuk membangun kekuatan maritim. Presentasi Jokowi di depan forum CEO menegaskan komitmen Jokowi sebagai pimpinan tertinggi diplomasi Indonesia dalam salesmanship berbagai peluang investasi di Indonesia. Demikian pula diplomasi blak-blakan Jokowi untuk langsung berdiplomasi mengenai peluang kerjasama dengan beberapa negara.
Kepentingan nasional, sesuai kecondongan presiden, yakni membangun RI sebagai poros maritim yang kompetitif.
Setelah tiga tahun berjalan nyaris tanpa kritik, politik luar negeri menjadi sasaran kritik terkait tragedi Rohingya di Myanmar.
Kritik, yang semula dimaksudkan untuk menjatuhkan pamor pemerintah, justru menjadi dukungan menguatkan.
Tantangan dan arah kebijakan
Dengan dukungan SDA,lingkungan strategis dan prinsip-prinsip bernegara yang telah diletakkan para pendiri bangsa, Indonesia seharusnya telah menjadi bagian dari liga negara maju.
Berada deretan peringkat atas dari liga negara-negara industri baru, bukan dalam deretan negara-negara berkembang, meskipun bukan yang terburuk.
Presiden Jokowi bertekad menjadikan Indonesia negara maju, kompetitif, dan memiliki mentalitas baru.
Visi ini disebut sebagai Nawa Cita, yang secara umum adalah revitalisasi tiga dokumen, yakni: Trisakti, UUD 1945, dan Deklarasi Djuanda.
Trisakti mengamatkan berdaulat di bidang politik, mandiri bidang ekonomi, dan berkebudayaan Indonesia.
UUD 1945, bagian preamble, mengamatkan, "Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
Deklarasi Djuanda menegaskan Indonesia sebagai negara maritim dalam sebuah kesatuan wilayah daratan dan laut sebagai wawasan Nusantara.
Visi ini, dalam politik luar negeri, diterjemahkan dalam arah kebijakan menjadikan RI kekuatan maritim yang diperhitungkan.
Seperti dirumuskan dalam Rentra Kemenlu 2015-2019, 'Dalam lima tahun ke depan, politik luar negeri RI akan dititikberatkan pada mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan membangun kerja sama internasional, menguatkan diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dengan keterlibatan global secara selektif, memperluas mandala keterlibatan regional di kawasan Indo Pasifik.
Dan meningkatkan pelibatan peran, aspirasi, dan kepentingan masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri, serta menata infrastruktur diplomasi.'
Arah kebijakan politik luar negeri ini pertama kali muncul dalam dokumen quick wins yang dibahas presiden dan kabinetnya pada sidang Kabinet Kerja yang pertama Oktober 2014, dengan poin-poin arah kebijakan politik luar negeri, yakni Launching Doktrin Poros Maritim Dunia (2014), Deklarasi Kerja Sama Negara-Negara Maritim (2014), Perumusan Peran Indonesia dalam G-20, dan Evaluasi Perwakilan Indonesia di Luar Negeri.
Politik luar negeri ditempatkan dalam integrasi dengan kementerian yang lainnya melalui tiga kata kunci: perdagangan, maritim, dan investasi.
Diplomasi ekonomi
Diplomasi ekonomi menjadi basis politik luar negeri dengan orientasi baru seperti dideskripsikan di atas.
Ini sebuah terminologi baru dalam perjalanan panjang diplomasi RI yang untuk waktu lama didominasi isu-isu keamanan dan politik.
Menilik konsep, sasaran, dan cara pelaksanaan, diplomasi ekonomi merupakan pengembangan lebih lanjut dari diplomasi kebudayaan yang dilaksanakan Kemenlu tahun 1980-an dan 1990-an dan diplomasi publik Kemenlu awal 2000-an.
Diplomasi ekonomi ialah memberi bobot ekonomi dan bisnis dari aktivitas diplomasi.
Seperti dituliskan di dalam Renstra Kemenlu (2015-2019), 'Diplomasi Indonesia di berbagai forum ekonomi selama ini memperlihatkan bahwa penekanan yang berbeda pada aspek politik atau aspek ekonomi menghasilkan keputusan yang berbeda, sehingga perlu upaya untuk menyeimbangkan antara kedua aspek tersebut agar keduanya dapat berjalan seiring dan saling mendukung'.
Praktik diplomasi ekonomi ditunjukkan secara mencolok oleh presiden pada tiga pertemuan internasional di akhir tahun 2014, yakni: KTT APEC 2015 di Beijing, China, 10-11 November; KTT ASEAN ke-25 di Naypidaw, Myanmar, 12-13 November; dan KTT G-20 di Brisbane, Australia, pada 15-16 November.
Presiden memanfaatkan forum ini untuk menggalang kemitraan ekonomi dalam proyek infrastruktur dan kerja sama ekonomi lainnya.
Pendekatan yang menekankan kepentingan domestik terus dipertahankan hingga sekarang, dan justru menjadikan politik luar negeri berjalan nyaris tanpa kritik.
Diplomasi ekonomi memiliki tiga tujuan, yakni menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri, dan mendatangkan turis asing.
Kehadiran Presiden Joko Jokowi' Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC, ASEAN, dan G20 merupakan ujian pertama, langsung, dan nyata bagi reorientasi politik luar negeri Indonesia (Polugri) pada 2014-2019. Orientasi polugri pemerintahan Jokowi tidak lagi menganut thousand friends zero enemies seperti pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Reorientasi polugri di era pemerintahan Jokowi mengarahkan Indonesia menjadi poros maritim dunia.
Pelaksanaan reorientasi itu tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Reorientasi lebih diarahkan pada upaya mengambil manfaat sebesar-besarnya dari diplomasi Indonesia (termasuk pada ketiga KTT itu) bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam rangka itu, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi telah mencanangkan 'diplomasi untuk rakyat' (diplomacy for people atau people's diplomacy). Diplomasi ini sebagai komitmen serius Menlu Retno mewujudkan visi dan misi Presiden Jokowi dalam polugri. Melalui diplomasi untuk rakyat ini, orientasi diplomasi Jokowi tentu saja diharapkan dapat memberikan warna berbeda dalam praktek diplomasi ekonomi pada ketiga KTT itu.
Pada KTT APEC di Beijing, Presiden Jokowi telah melakukan beberapa terobosan diplomatik. Pertama, Jokowi menunjukkan praktik riil diplomasi ekonomi untuk membangun kekuatan maritim. Presentasi Jokowi di depan forum CEO menegaskan komitmen Jokowi sebagai pimpinan tertinggi diplomasi Indonesia dalam salesmanship berbagai peluang investasi di Indonesia. Demikian pula diplomasi blak-blakan Jokowi untuk langsung berdiplomasi mengenai peluang kerjasama dengan beberapa negara.
0 Response to "Tugas Organisasi dan Administrasi Internasional : Masa Pemerintahan Jokowi Dilihat Dari Aspek Pengembangan Budaya Politik Internasional"
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya