Isu - isu Kontemporer : Korupsi


Dalam makna yang paling sederhana, korupsi diartikan sebagai tindakan menyelewengkan uang atau benda orang lain yang bukan menjadi haknya. Dalam arti luas, korupsi diartikan sebagai tindakan menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi dan digunakan sebagai upaya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Tindakan korupsi pada tingkatan pemerintahan suatu negara sangat merugikan karena berpotensi meningkatnya kemiskinan di suatu negara. Selain itu, negara juga mengalami kerugian materi yang tidak sedikit. Korupsi bersifat menguntungkan diri sendiri, namun merugikan kepentingan umum dan negara. Di Indonesia sendiri, kasus korupsi bukan merupakan hal baru. Berdasarkan data dari Transparency Indonesia, Indonesia menduduki peringkat 12 dari total 175 negara sebagai negara terkorup. Cukup disayangkan memang, meskipun berbagai upaya hukum telah diupayakan, nyatanya tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi.

A. Sejarah Korupsi di Indonesia

Catatan panjang tentang korupsi di Indonesia telah dimulau bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kerajaan, korupsi telah banyak terjadi, biasanya karena motif perebutan kekuasaan. Bahkan sejarah menyebutkan bahwa runtuhnya kerajaan -kerajaan besar di Indonesia seperti Sriwijaya dan Singasari dilatarbelakangi oleh korupsi pada masa itu. Pada masa itu, masyarakat belum mengenal korupsi. Korupsi didominasi oleh kalangan raja dan sultan dari kerajaan tertentu dan lingkupnya belum menyebar ke luar kerajaan.
Pada masa penjajahan, korupsi juga merajalela. Tidak hanya korupsi oleh sultan-sultan kerajaan, korupsi juga dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintahan Portugis dan Belanda yang saat itu menduduki kekuasaan di Indonesia. Pada masa itu, pejabat-pejabat penjajah mengkorup uang korpsnya, atau mengkorup keuangan instansi pemerintahan. Pada masa penjajahan, banyak pula raja yang menerapkan sistem upeti untuk rakyat. Rakyat harus menyerahkan harta benda atau pangan dalam jumlah tertentu. Teknik tersebut ternyata juga ditiru oleh pemerintahan Belanda ketika menduduki Indonesia.
Pada masa sekarang, korupsi sudah bukan hal yang baru di lingkup pemerintahan. Korupsi merupakan tindakan biasa, bahkan para pejabat beramai-ramai melakukan korupsi untuk memperkaya diri. Berbagai upaya hukum telah diterapkan, namun ternyata tidak mampu memberikan efek jera bagi koruptor.

B. Dampak Korupsi

Apapun alasannya, korupsi merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dilihat dari aspek manapun. Banyak kepentingan publik yang terbengkalai, juga kerugian negara yang sangat besar akibat dari korupsi itu sendiri. Selain itu, korupsi juga memberikan dampak negatif di berbagai bidang yang meliputi:
 
  1. Bidang Demokrasi
    Dampak akibat korupsi bagi negara yang utama adalah di bidang demokrasi. Bagi Anda yang pernah menjadi Dewan Pemilih Tetap (DPT) saat pesta demokrasi (pemilu) berlangsung pasti pernah mengetahui yang disebut “serangan fajar”. Sejumlah calon tetentu memberikan imbalan uang bagi siapa saja yang memilihnya saat pemilu, sehingga ia terpilih menduduki jabatan tertentu. Pemberian imbalan uang tersebut sifatnya adalah sogokan. Beberapa memang tidak memberikan uang untuk melancarkan jalannya menduduki suatu jabatan, namun ia memberikan barang tertentu kepada masyarakat. Apapun bentuk sogokan yang diberikan tersebut adalah salah satu bentuk korupsi. Sayangnya, masyarakat Indonesia kebanyakan tidak cukup cerdas untuk memikirkan dampak jangka panjang jika mereka menerima sogokan tersebut.
    Saya contohkan sebuah kasus ringan yang sangat sering terjadi saat pemilu. Ada 2 orang dari daerah yang sama yang mencalonkan diri mejadi anggota DPR. Sebut saja A dan B. Si A memiliki kepribadian pemimpin yang baik, mampu mengayomi, memberikan bantuan untuk kasus-kasus sosial yang terjadi di lingkungannya. Saat detik-detik menjelang berlangsungnya pemilu, si A menggunakan cara yang jujur, sedangkan si B memberikan uang kepada para calon pemilih agar ia terpilih menduduki kursi DPR. Karena para pemilih yang memilih sogokan dan juga tidak memikirkan dampak panjang, akibatnya si B yang justru terpilih menduduki kursi DPR, padahal dari segi kemampuan, si A lebih kompeten dibanding si B. Itulah salah satu contoh dampak korupsi bagi berjalannya demokrasi di Indonesia. Maka jangan salah jika ada semboyan “Jadilah masyarakat yang baik jika menginginkan pemimpin yang baik”.
  2. Bidang Ekonomi
    Maju tidaknya suatu negara biasa diukur dengan tingkat ekonomi negara tersebut. Dan penelitian juga telah membuktikan, makin maju suatu negara biasanya diikuti dengan makin rendahnya tingkat korupsu negara tersebut. Korupsi memang biasa terjadi di negara-negara berkembang. Maka tidak heran pula, jika negara-negara berkembang memiliki perekonomian yang tidak baik dan relatif tidak stabil. Bahkan pada beberapa kasus, sering ditemukan perusahaan-perusahaan yang memiliki koneksi dengan pejabat mampu bertahan dan dilindungi dari segala macam persaingan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang tidak efisien bertahan dan justru merugikan perekonomian negara.

    Para ahli ekonomi juga menyebutkan bahwa buruknya perekonomian di negara-negara Afrika ternyata disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi negara tersebut. Para pejabat yang korup, menyimpan uang mereka di berbagai bank di luar negeri. Bahkan ada data yang menyebutkan bahwa besarnya uang simpanan hasil korupsi pejabat-pejabat Afrika yang ada di luar negeri justru lebih besar dibandingkan hutang negaranya sendiri. Maka tidak heran jika ada beberapa negara di benua Afrika yang sangat terbelakang tingkat ekonomi dan juga pembangunan insfrastrukturnya, padahal jika dilihat dari kekayaan alam, mereka memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.
  3. Bidang Keselamatan dan Kesehatan Manusia
    Anda mungkin masih mengingat robohnya jembatan Kutai Kertanegara. Masih ada kasus-kasus lain mengenai kerusakan fasilitas publik yang juga menimbulkan korban jiwa. Selain itu, ada pula pekerja-pekerja fasilitas publik yang mengalami kecelakaan kerja. Ironisnya, kejadian tersebut diakibatkan oleh korupsi. Bukan rahasia jika dana untuk membangun insfrastruktur publik merupakan dana yang sangat besar jika dilihat dalam catatan. Nyatanya, saat dana tersebut melewati para pejabat-pejabat pemerintahan, dana tersebut mengalami pangkas sana-sini sehingga dalam pengerjaan insfrastruktur tersebut menjadi minim keselamatan. Hal tersebut terjadi karena tingginya resiko yang timbul ketika korupsi tersebut memangkas dana menjadi sangat minim pada akhirnya. Keselamatan para pekerja dipertaruhkan ketika berbagai bahan insfrstruktur tidak memenuhi standar keselamatan karena minimnya dana.
  4. Bidang Kesejahteraan Umum
    Dampak korupsi dalam bidang ekonomi lainnya adalah tidak adanya kesejahteraan umum. Anda pasti sering memperhatikan tayangan televisi tentang pembuatan peraturan-peraturan baru oleh pemerintah. Dan tidak jarang pula, ketika dicermati, peraturan-peraturan tersebut ternyata justru lebih memihak pada perusahaan-perusahaan besar yang mampu memberikan keuntungan untuk para pejabat. Akibatnya, perusahaan-perusahaan kecil dan juga industri menengah tidak mampu bertahan dan membuat kesejahteraan masyarakat umum terganggu. Tingkat pengangguran makin tinggi, diikuti dengan tingkat kemiskinan yang juga semakin tinggi.
  5. Pengikisan Budaya
    Dampak ini bisa terjadi pada pelaku korupsi juga pada masyarakat umum. Bagi pelaku korupsi, ia akan dikuasai oleh rasa tak pernah cukup. Ia akan terus-menerus melakukan upaya untuk menguntungkan diri sendiri sehingga lambat laun ia akan menuhankan materi. Bagi masyarakat umum, tingginya tingkat korupsi, lemahnya penegakan hukum, akan membuat masyarakat meninggalkan budaya kejujuran dengan sendirinya. Pengaruh dari luar akan membentuk kepribadian yang tamak, hanya peduli pada materi, dan tidak takut pada hukum.
  6. Terjadinya Krisis Kepercayaan
    Dampak korupsi bagi negara yang paling penting adalah tidak adanya kepercayaan terhadap lembaga pemerintah. Sebagai pengamat, masyarakat Indonesia saat ini sudah semakin cerdas untuk menilai sebuah kasus. Berdasarkan pengamatan, saat ini masyarakat Indonesia tidak pernah merasa puas dengan tindakan hukum kepada para koruptor. Banyak koruptor yang menyelewengkan materi dalam jumlah yang tidak sedikit, namun hanya memperoleh hukuman tidak seberapa. Akibatnya, rakyat tidak lagi percaya pada proses hukum yang berlaku. Tidak jarang pula masyarakat lebih senang main hakim sendiri untuk menyelesaikan sebuah kasus. Hal tersebut sebenarnya merupakan salah satu tanda bahwa masyarakat Indonesia sudah tidak percaya dengan jalannya hukum, terutama dengan berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani kasus korupsi.
C. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi
 
Faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua. Yaitu diantaranya faktor internal dan faktor eksternal, yang masing-masing faktor tersebut memiliki beberapa poin-poin .
Faktor penyebab korupsi dibagi menjadi dua. Yaitu diantaranya faktor internal dan faktor eksternal, yang masing-masing faktor tersebut memiliki beberapa poin-poin .

1. Faktor internal
Yang menjadi penyebab akibat terjadinya korupsi pada faktor internal adalah :
  • Sifat rakus atau tamak yang dimiliki oleh manusia.
    Pada sifat rakus tersebut artinya manusia tidak mudah puas dengan apa yang dimilikinya saat ini. Mereka cenderung merasa kurang dengan apa yang mereka miliki dan hal tersebut akan mendorong manusia tersebut untuk melakukan korupsi.
  • Gaya hidup yang konsumtif.
    Gaya hidup yang konsumtif yaitu dalam segi kehidupan mereka sehari-hari berlebihan, atau dapat disebut juga dengan gaya hidup yang boros. Gaya hidup yang semacam ini akan mendorong mereka untuk melakukan korupsi karena apabila dari penghasilan mereka tidak mencukupi untuk memenuhi gaya hidup mereka yang boros.
  • Moral yang kurang kuat.
    Faktor internal yang menyebabkan korupsi salah satunya yaitu akibat moral manusia yang kurang kuat. Artinya moral yang mereka miliki sangat kurang dan mereka lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri.
2. Faktor eksternal
Penyebab korupsi dari faktor eksternal antara lain:
  • Politik
    Faktor politik mempengaruhi terjadinya korupsi karena pada dasarnya politik sendiri berhubungan dengan kekuasaan. Artinya siapapun orang tersebut pasti akan menggunakan berbagai cara, bahkan melakukan korupsi demi mendapatkan kekuasaan tersebut. Faktor politik terbagi menjadi dua yaitu kekuasaan dan stabilitas politik.
  • Hukum
    Pada faktor hukum dapat dilihat dari sistem penegakan hukum yang hanya pro pada pihak-pihak tertentu saja yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Faktor hukum juga dibagi menjadi dua yaitu konsistensi penegakan hukum dan kepastian hukum.
  • Ekonomi
    Faktor ekonomi juga salah satu faktor yang meyebabkan terjadinya korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dari apabila gaji atau pendapatan seseorang tersebut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Faktor ekonomi juga terbagi menjdai dua yaitu gaji atau pendapatan dan sistem ekonomi.
3. Organisasi

Faktor organisasi memiliki beberapa aspek yang menyebabkan korupsi , diantaranya yaitu :
  • Kultur atau budaya
  • Pimpinan
  • Akuntabilitas
  • Manajemen atau sistem

D. Hukuman yang pantas untuk para koruptor
 
Korupsi merupakan masalah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Jejak korupsi juga merata di hampir seluruh penjuru dunia.

Berdasarkan survei Corruption Index 2017, tidak ada negara yang mendekati nilai sempurna dalam Indeks Persepsi Korupsi 2016. Itu artinya tak ada satu negara di dunia yang benar-benar bebas dari tindak korupsi.

Survei tersebut juga mengungkapkan bahwa sekitar dua pertiga dari 176 negara di dunia berada pada tingkatan “sangat korup”. Secara keseluruhan, rata-rata skor global untuk korupsi hanya pada angka 43 dari 100. Hal ini mengindikasi bahwa korupsi endemik di sebagian besar negara di dunia.

Bank Dunia menganggap korupsi menjadi tantangan utama dalam mencapai tujuan pengurangan kemiskinan ekstrem pada 2030 mendatang. Ini sekaligus menjadi tantangan besar dalam peningkatan kemakmuran bersama bagi 40 persen orang termiskin di negara-negara berkembang.

Korupsi berdampak besar pada kehidupan orang miskin. Menurut Bank Dunia, korupsi menghambat orang miskin mengakses layanan kesehatan sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat. Minimnya akses memaksa mereka harus menyuap agar mendapatkan akses tersebut. Secara konsisten orang miskin menghabiskan 12,6 persen dari pendapatannya untuk menyogok.

Secara global, setiap tahunnya uang untuk menyogok atau menyuap dalam bisnis atau pribadi mencapai 1,5 triliun dolar. Jumlah tersebut setara dengan 2 persen PDB global atau 10 kali lebih besar dari dana bantuan pembangunan luar negeri. Sehingga mengurangi korupsi menjadi tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals.

Dalam melawan korupsi, masing-masing negara memiliki aturannya sendiri yang dapat dilihat dari ragam bentuk penghukuman bagi para koruptor. Cina salah satunya yang sedang berusaha melawan korupsi dengan menetapkan siapapun yang terbukti melakukan korupsi lebih dari 100 ribu yuan atau sekitar Rp194 juta akan dijatuhi hukuman mati.

Pemerintah Cina tak main-main menghukum para koruptor. Salah satu vonis hukuman mati dijatuhkan Xu Maiyong, mantan wakil walikota Hangzhou dan Jiang Renjie, wakil walikota Suzhou pada 2011. Mereka dinyatakan bersalah karena telah melakukan penyuapan masing-masing 100 juta yuan dan 200 juta yuan -- yang jika diakumulasi mencapai 50 juta dolar AS.

Selain itu Menteri Perkeretaapian Cina, Liu Zhijun, juga divonis hukuman mati karena menerima suap dan menyalahgunakan jabatan atau wewenang sejak 1972 hingga 2011. Ia membantu memenangkan tender proyek-proyek pembangunan perusahaan kereta api dan mendapat 13,5 juta dolar AS dari praktik korupsi.

Korupsi menjadi salah satu penyebab utama ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah di Cina. Itulah sebabnya pemerintah pun mengambil langkah tegas kepada koruptor. Ratusan pejabat dihukum setiap tahunnya karena kasus korupsi.

Vietnam juga menerapkan hukuman mati bagi para koruptor. Pada 2014, seorang direktur Vietnam Development Banks dijatuhi hukuman mati setelah ia dan 12 orang lainnya menyetujui sebuah pinjaman palsu sebesar 89 juta dolar AS. Agar ia menyetujui kontrak tersebut, ia disuap dengan sebuah BMW, cincin berlian dan 5,5 juta dolar AS.

Jika Cina dan Vietnam menerapkan hukuman mati, maka di Jerman, siapapun yang menawarkan, membayar atau menerima sogokan dalam transaksi domestik atau asing dapat dikenai hukuman hingga 10 tahun penjara, membayar sejumlah denda dan menyita seluruh hasil dari korupsi, menurut KUHP Jerman (Strafgesetzbuch).

Berbeda lagi dengan yang diberlakukan di Amerika Serikat. Negara maju tersebut juga masih terus bekerja keras melawan korupsi. Di Amerika, praktik korupsi dapat dijatuhi hukuman 5-20 tahun penjara dan denda 100 ribu-5 juta dolar AS untuk setiap pelanggaran.

Singapura juga tak lepas dari praktik korupsi. Di negara tersebut, siapapun yang menerima, memberi suap akan dijerat hukuman tak lebih dari 5 tahun penjara dan membayar denda yang tak lebih dari 100 ribu dolar AS.

Di Jepang, praktik korupsi menjadi ciri khas ledakan ekonomi pascaperang Jepang yang membangun aliansi erat yang dikenal dengan “segitiga besi” antara pebisnis Jepang, politisi dan Partai Demokratik yang berkuasa. Kedekatan yang erat ini mendorong terciptanya kesepakatan rahasia yang berujung pada tindak korupsi.

Dalam pasal 197 KUHP Jepang melarang seorang pejabat publik untuk menerima sogokan atau pada pasal 198 yang melarang menawarkan sogokan. Hukuman untuk yang menerima sogokan adalah dipenjara di bawah 5 tahun serta menyita hasil dari sogokan. Sedangkan pejabat yang menawarkan sogokan diancam dipenjara selama 3 tahun dan membayar denda 2,5 juta yen atau Rp301 juta. Pejabat yang terjerat kasus korupsi di Jepang biasanya akan langsung mengundurkan diri dari jabatannya.

Sedangkan di Indonesia, Lembaga swadaya masyarakat bidang pemantauan dan pemberantasan korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, selama semester pertama 2015, hakim rata-rata hanya menjatuhkan vonis hukuman penjara 25 bulan atau dua tahun satu bulan kepada para terdakwa koruptor. Itu belum termasuk remisi yang tentu akan mempersingkat waktu penahanan. Artinya meringankan hukuman koruptor.

Pada periode yang sama di tahun 2014, vonis hakim terhadap terdakwa dengan perkara korupsi rata-rata sekitar dua tahun sembilan bulan, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata vonis hukuman koruptor pada kurun yang sama di tahun 2015.

Korupsi di Indonesia sudah menggurita. Terjadi di berbagai daerah dan di berbagai lapisan mulai dari pejabat negara, politikus, kepala daerah hingga wakil rakyat. Kasus korupsi yang masih hangat adalah megakorupsi e-KTP yang menyeret berbagai pejabat publik hingga wakil rakyat. Ada juga korupsi Alquran yang menegaskan bahwa korupsi menjadi “penyakit kronis” di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan agar dapat menekan korupsi di Indonesia. Namun tak jarang dalam beberapa kasus, terjadi kriminalisasi dan rekayasa kasus terhadap pemimpin dan pagawai KPK, hinggga pelemahan KPK.

Guna memerangi korupsi yang semakin merajalela ini, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi pernah menyebutkan untuk menghukum mati para koruptor agar memberi efek jera seperti yang dilakukan Cina dan Vietnam.

Di sisi lain hukuman mati dianggap melanggar hak asasi manusia. Sehingga menimbulkan dilema. Penjara dan denda pun tak membikin koruptor jera. Lalu hukuman apa yang pantas untuk koruptor?


Berbagai kasus korupsi yang terjadi di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Berbagai faktor bisa menyebabkan korupsi itu terjadi. Langkah yang paling tepat adalah memiliki kesadaran untuk diri sendiri terlebih dahulu. Kesadaran untuk mengutamakan kejujuran akan mencegah kita melakukan hal-hal negatif seperti korupsi. Selanjutnya, kebijakan untuk memperbaiki mental bangsa, juga memperbaiki kebijakan hukum akan menciptakan negara yang bebas korupsi.

0 Response to "Isu - isu Kontemporer : Korupsi"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya