Pendidikan adalah suatu program negara yang mempunyai fungsi dan tujuan yang nyata. Pendidikan berfungsi untuk membentuk watak dan karakter bangsa yang bermartabat serta mengembangkan kemampuan yang dimiliki oleh setiap waraganya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan sikap individu (peserta didik) agar menjadi manusia yang bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berbudi luhur, berilmu, mandiri, serta bertanggung jawab. Oleh sebab itu, tujuan yang luhur itu harus benar-benar mendapat perhatian khusus agar bangsa ini tidak dipandang sebagai bangsa yang kehilangan karakternya.
Sudah lebih dari sengah abad bangsa Indonesia merdeka, tapi sampai saat ini justru bangsa Indonesia semakin mengalami degradasi karakter kebangsaan. Meningkatnya tindak kriminal dan semakin menjadi-jadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di bangsa ini menunjukan bahwa masyarakat Indonesia sedang kehilangan jati diri.
Belum lagi ancaman disintegrasi bangsa yang menggejala di berbagai daerah semakin menguatkan bahwa bangsa ini sedang mengalami kriris karakter kebangsaan.
Pendidikan yang semestinya menjadi motor ”perbaikan” sekaligus ”pembentukan” karakter bangsa justru mengalami kegagalannya. Meskipun mengalami kegagalan, pendidikan masih menjadi sarana yang paling efektif untuk membentuk karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Reorientasi pendidikan dengan mendorong peran pemerintah lebih optimal serta revitalisasi pendidik merupakan langkah awal yang harus ditempuh untuk menjadikan pendidikan sebagai motor perbaikan dan pembentukan karakter bangsa. Pendidikan terpadu merupakan sebuah tawaran solutif atas implementasi pembelajaran yang berlansung selama ini yang telah menyebabkan pendidikan terdikotomi.
1.2.1 Bagaiman potret problematika pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini?
1.3. Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian hakekat pendidikan itu sendiri dan keadaan pendidikan
1.3.2 Mengetahui pendidikan budi pekerti dan hubungannya dengan degeredasi moral
1.3.3 Menetahui karakter bangsa indonesia yang sesungguhnya.
1.3.5 Mendeskripsikan peranan mahasiswa sebagai agent of change.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pendidikan dan Problematika Pendidikan di Indonesia
Pendidikan beasal dari bahasa Inggris yaitu “education”, berakar dari bahasa Latin “educare” yang berarti pembimbingan berkelanjutan (to led forth). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan adanya pendidikan yang berlangsung secara terus menerus dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya sepanjang keberadaan kehidupan manusia. Sedangkan secara teoritis, ada pendapat yang mengatakan bahwa pada umumnya pendidikan bagi manusia itu berlagsung sejak 25 tahun sebelum kelahiran. Pendapat itu diartikan bahwa sebelum menikah, ada kewjiban bagi siapa pun untuk mendidik diri sendir terlebih dahulu sebelum mendidik anak keturunannya. Secara praktis ada pendapat yang mengatakan bahwa bagi manusia individual, pendidikan itu telah dimulai sejak bayi lahir, bahkan sejak bayi itu berada di dalam kandungan sang ibu. Melihat dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan pendidikan itu melekat erat pada dan di dalam diri manusia sepanjang jaman.
Jadi pendidikan adalah masalah khas manusia. Artinya adalah hanya manusialah yang mempunyai persoalan pendidikan sepanjang dia itu hidup. Sedangkan makhluk lain hidup dalam keadaan yang relatif stabil tanpa adanya sebuah perubahan yang berarti, apalagi perkembangan. Kita ambil contoh adalah ayam. Ketika ayam baru saja menetas dari telurnya bisa langsung hidup mencari makan sendiri secara naluriah. Berbeda sekali dengan manusia. Ketika bayi baru lahir, dia masih berada dalam kondisi yang labil dan terus menerus melakukan perubahan dan perkembangan, baik secara fisik maupun piskisnya. Agar menjadi manusia yang bisa diandalkan maka sejak kecil manusia harus dikenalakan dengan pendidikan. Palaksanaan pendidikan dilakukan oleh dan untuk dirinya sendiri, dengan sasaran mengembangkan pengetahuan serta menyusun teori-teori keilmuan dan sistem teknologi. Sasaran pendidikan itu berfungsi sebagai alat, sarana, dan jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pda titik inilah manusia mewujudkan dirinya sebagai mahluk pendidikan.
Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat (Tilaar, 2000).
Jalal dan Supriyadi (2001) mengidentifikasi ada lima kelompok besar isu strategis yang masing-masing isu tersebut mengandung dimensi-dimensi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan hukum. Isu pertama, lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan. Di samping lemahnya kemampuan finasial, masyarakat juga belumm memiliki prasyarat kemampuan sosial, kultural, dan legal, serta kemauan politik yang cukup untuk memprioritaskan pendidikan. Kedua, lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional. Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional belum memiliki kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya. Struktur dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya juga belum jelas, inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih mungkin terjadi. Di samping itu, secara ekonomi, masih banyak hal yang belum baik, pemborosan dan inefisiensi masih banyak ditemui. Isu ketiga adalah desentralisasi pendidikan. UU No. 22 tahun 1999 sudah mulai dilaksanakan, namun dalam hal urusan pendidikan belum mencapai tingkat kesiapan yang memadai. Masalahnya tidak hanya terletak pada identifikasi dan pemilahan urusan daerah dan urusan pusat, namun juga perlunya penataan sistem organisasi, manajemen, pengembangan sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan lain sebagainya. Keempat, relevansi pendidikan. Apabila peran pendidikan itu sendiri masih belum jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan antisipasi perkembangan sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur ketenagakerjaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar. Kelima, akuntabilitas pendidikan. Pendidikan dituntut dapat mempertanggung-jawabkan tugas sesuai dengan visi dan misinya kepada masyarakat. Adalah kewajiban pendidikan untuk menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan dipercayakan kepadanya.
2.2. Pendidikan Budi Pekerti dan Degredasi Moral
Pengertian budi pekerti adalah mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mempunyai beberapa arti, diantaranya adalah adat istiadat, perilaku, dan sopan santun. Namun pengertian budi pekerti hakiki adalah perilaku. Sementara itu menurut draft kurikukum barbasis kompetesi (2001), budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.
Budi pekerti berinduk pada etika atau filsafat moral. Secara etimologis, kata etika sangat dekat dengan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos (jamak : ta etha) yang berarti adat kebiasaan. Dan moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang juga mengandung arti adat kebiasaan.
Etika ialah studi tentang cara penerapan hal yang baik bagi hidup manusia, yang menurut Solomon (1984 : 2) mencakup dua aspek, yaitu :
a. disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya,
b. nilai-nilai hidup nyata dan hukum tingkah laku manusia yang menopang nilai-nilai
tersebut.
Sementara itu, Bertens (1993 : 4) mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari adat kebiasaan, termasuk didalamnya moral yang mengandung nilai dan norma yang menjadi pegangan hidup seseorang atau sekelompok orang bagi pengaturan tingkah lakunya. Dengan kaitannya dengan budi pekerti,etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah yang nyata. Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang harus dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri sendiri maupun lingkungan di sekitarnya.
Moral remaja dari tahun ketahun terus mengalami penurunan kualitas atau degradasi. Dalam segala aspek moral, mulai dari tutur kata, cara berpakaian dll. Degradasi moral ini seakan luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang. Faktor utama yang mengakibatkan degradasi moral remaja ialah perkembangan globalisasi yang tidak seimbang. Virus globalisasi terus menggerogoti bangsa ini. Sayangnya kita seakan tidak sadar, namun malah mengikutinya. Kita terus menuntut kemajuan di era global ini tanpa memandang (lagi) aspek kesantunan budaya negeri ini. Ketidak seimbangan itulah yang pada akhirnya membuat moral semakin jatuh dan rusak.
Menurut Thomas Lickona (Sutawi, 2010), ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah:
- meningkatnya kekerasan pada remaja
- penggunaan kata-kata yang memburuk
- pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
- meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
- kaburnya batasan moral baik-buruk,
- menurunnya etos kerja
- rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
- rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
- membudayanya ketidakjujuran
- adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Atas dasar itulah maka pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam. Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
- Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
- Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif, di dalamnya mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).
- Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam pengembangan karakter.
- Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)
- Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action).
- Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.
- Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri yang kuat
- Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis yang senantiasa berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi sosok teladan bagi para siswa.
- Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan pendidikan karakter dalam jangka panjang.
- Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter
- Secara teratur, sekolah melakukan asesmen terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
2.3. Karakter Bangsa yang Sesungguhya
Karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Memang harus diakui bahwa bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis karakter, Indonesia seolah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang memiliki prinsip ideologi kebangsaan yang eksklusif, berkebudayaan tinggi, memiliki tata krama, sopan santun, toleransi, gotong royong, semangat juang, dan nasionalisme. Nilai-nilai luhur yang berakar dari pengkajian kebudayaan nenek moyang kita tersebut, saat ini telah mulai tergantikan oleh produk-produk perkembangan zaman yang memungkinkan masuknya pengaruh-pengaruh budaya asing yang secara tidak sadar sesungguhnya mulai menggeser eksistensi budaya bangsa Indonesia sebagai karakter di kalangan masyarakatnya sendiri. Kita harus menyadari bahwa karakter menjadi sangat penting bagi suatu bangsa karena ia adalah kombinasi dari kualitas-kualitas khusus masyarakatnya yang akan membuat bangsa tersebut berbeda dari bangsa-bangsa yang ada di dunia ini, apa jadinya suatu bangsa yang tidak memiliki karakter? Hal-hal yang mungkin terjadi, antara lain: hilangnya identitas nasional, mudah terombang-ambing dalam polemik yang bermuara pada konflik, memungkinkan retaknya semangat kesatuan bangsa, hilangnya semangat kecintaan serta kebanggaan terhadap bangsa, dan mudah dimasuki oleh tujuan-tujuan negatif dari negara-negara adikuasa.
Permasalahan karakter bangsa saat ini telah menjadi isu nasional, karena hal tersebutlah yang menjadi penyebab keterpurukan bangsa Indonesia di berbagai bidang kehidupan, sehingga memaksa pemerintah untuk melahirkan adanya kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa yang diwujudkan dengan dibentuknya sejumlah lembaga nasional seperti Badan Koordinasi Pembangunan Karakter Bangsa serta Satuan Kerja Pembangunan Karakter Bangsa dari tingkat pusat sampai daerah serta banyak dilaksanakan seminar-seminar yang mengangkat isu karakter bangsa sebagai tajuk utamanya. Efektifkah kegiatan-kegiatan tersebut?
Kita memang harus tetap mengapresiasi pencapaian dari program serta usaha-usaha pemerintah dan berbagai organisasi untuk berkontribusi dalam usaha rediscovery of our national character/identity. Namun, mari kita melihat menggunakan kacamata hati yang lebih jujur dalam menjustifikasi keefektivitasan metode penyelesaian masalah karakter bangsa ini. Seberapa seringkah kita melihat berita tentang penyalahgunaan narkoba, tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, demonstrasi yang berakhir anarkis, bentrok antar suku, ricuh antar kelompok masyarakat, korupsi, suap-menyuap, kecurangan birokrasi, jual beli hukum, dan berbagai tindakan tercela yang sering menjadi headline di media massa saat ini. Kita tidak bisa menutup mata tentang masalah ini, inilah potret nyata merosotnya karakter bangsa yang mulai tergantikan oleh paradigma-paradigma anarkis dan keserakahan lymbic individualisme (pusat insting hewani manusia).
2.4. Pendidikan Terpadu
Masyarakat Indonesia seperti kehilangan prinsip dan nation dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konsep Bhenika Tunggal Ika sudah mulai luntur dari jiwa-jiwa generasi sekarang. Akan tetapi semua proses yang terjadi saat ini boleh jadi memberikan pendidikan yang berarti bagi masyarakat Indonesia dalam mencari jati diri. Menurut Sarjono Djatiman, bangsa Indonesia baru dalam proses menjadi Indonesia. Pada masa lalu, para pendiri bangsa ini melakukan proses menjadi Indonesia dimulai dari para elite dengan proses sukarela. Masing-masing menyatakan dirinya lalu mencari unsur-unsur yang bisa dipakai sebagai pangkal tolak nation Indonesia. Nation Indonesia dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Inilah yang menjadi harapan pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki jati diri.
Permasalahan pendidikan bangsa ini tidak pernah selesai, ada gejala yang tidak beres dalam dunia pendidikan seperti; siswa yang tawuran, siswa yang menjadi korban narkoba, siswa yang tidak bersemangat belajar, siswa yang memperkosa temannya sendiri dan masih banyak lagi permasalahan pendidikan yang sedang berlangsung belum lagi persoalan yang terjadi pada lulusan pendidikan yang terjebak pada pengangguran atau para pelaku korupsi intelek yang menjadi-jadi. fenomena kriminalitas yang terjadi dalam realitas kehidupan semuanya hampir bersentuhan dengan pendidikan baik itu yang pra, saat atau pasca pendidikan.
Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antar komunitas, tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya, berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional). Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara. Karakter bangsa muncul dari komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan aturan yang jelas. Dalam hal ini pendidikan berperan penting membangun persamaan persefsi antar komunitas sehingga terjalin komunitas yang memiliki karakter yang jelas dan kuat. Jika pendidikan gagal dalam membangun persefsi antar komunitas maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perbedaan serta akan memudarkan nilai-nilai kebangsaan dan akan berdampak pada hilangnya karakter bangsa.
Dari banyak literatur ada bukti, perilaku masyarakat amat erat kaitannya dengan tingkat pendidikannya. Teori keterkaitan perilaku masyarakat dengan tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya berlaku. Yang bisa dijadikan instrumen untuk menjelaskannya tampaknya adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa (character building). Sayang, sudah lebih dari setengah abad kita merdeka tampak sekali bahwa pembentukan karakter bangsa dalam arti yang sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam konteks memahami fenomena itu, menarik apa yang disarankan Unesco bahwa pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know), (b) belajar untuk berbuat (learn to do) dan (c) belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih terarah membentuk having, agar sumberdaya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih terarah being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit; penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat, tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya, merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Penyesuaian dalam materi dan cara penyampaiannya tentu saja diperlukan.
Reorientasi pendidikan perlu segera dilakukan yaitu dengan melakukan tinjauan atas pelaksanan pendidikan dan pembelajaran selama ini, pendidikan kita berjalan apa adanya dengan output seadanya. Sehinga dalam pembelajaran tidak terjadi internalisaisi ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Terjadinya parsialisasi ilmu pengetahuan telah mengakibatkan pendidikan kurang bermakna, banyak energi dan waktu yang tebuang percuma tapi kebermanfaatan dan kebermaknaan ilmu yang diajarkan tidak memberikan dampak yang berarti. Terjadinya pemisahan apa yang diajarkan di sekolah dengan realita kehidupan membuat pendidikan kita tidak memiliki karakter dan terkesan paradoks.
Untuk itu paradigma pendidikan tepadu perlu digalakkan yaitu dengan memadukan antara teori dan praktek, antara teks dan konteks, selama ini pendidikan kita berlangsung dikotomi antara teks dan konteks, antara teori dan praktek. Pemisahan ini menyebabkan pemahaman menjadi parsial dan tepisah-pisah dan pelajaran hanya di pahami sebatas formalitas saja. Sehingga tidak ada pengaruh yang berarti ketika orang belajar tentang budi pekerti atau belajar tentang pancasila. Karena nilai yang diajarkan hanya sebatas normatif saja. Pendidikan terbadu dibangun atas kesadaran dan pencarian kebenaran ilmu pengetahuan.
Pendidikan sudah harus mengajarkan epistimologi ilmu tentang pelajaran yang diajarkan kepada siswa. Krisis kebenaran ilmu dan disfungsi ilmu tidak terjadai, orang harusnya tahu kenapa di harus belajar pancasila dan cara penerapannya, kenapa harus belajar biologi dan implementasinya. Pendidikan harus menjadi proses konsientisasi (penyadaran) dan sebagai praktek pemerdekaan. Dalam proses konsientasi pendidikan tidak saja diarahkan pada realitas obyektif dan aktual, akan tetapi juga pada proses penyadaran akan dirinya sebagai manusia yang memiliki jati diri/ karakter. Pendidikan yang tidak diarahkan pada dua kesadaran ini, sebenarnya telah menempatkan pendidikan sebagai proses penindasan dan praktek pemerkosaan terhadap hak-hak hidup yang manusiawi. Dan akibat lebih lanjut pendidikan akan membawa peserta didik hanya untuk hidup dan tidak membawa kepada the process of being/ becoming.
2.5. Peran Mahasiswa sebagai Agent of Change
Sebagai agen perubahan mahasiswa mempunyai peran penting dalam membantu persoalan pendidikan yang ada di Indonesia. Melalui usaha-usaha pemberdayaan masyarakat, progres pengabdian ke masyarakat sebagai bentuk integritas terhadap masyarakat.
Sebuah nasihat dalam bahasa Arab berbunyi, “Inna fi yadisy syubban amrul ummah wa fii aqdaamihim hayaatuha” Sesungguhnya pada tangan para generasi mudalah urusan suatu ummat dan pada derap langkah merekalah kehidupannya. Memang benar apa kata nasihat tersebut bahwa tidak dapat dipungkiri lagi pada saat ini mahasiswa sebagai generasi muda memiliki peranan yang sangat urgen dalam menentukan kehidupan suatu bangsa khususnya di Negara Indonesia yang kita cintai bersama ini.Pada saat ini masyarakat memandang mahasiswa sebagai agen of social change yang dengan paradigma berpikir dan intelektualitas tinggi yang dimilikinya diharapkan dapat memberikan perubahan yang berarti terhadap kemajuan bangsa.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa dana subsidi pendidikan tinggi negeri berasal dari rakyat. Maka memang sudah sepantasnya dan menjadi kewajiban bagi mahasiswa untuk dapat membayar “utang” tersebut kepada rakyat yang telah banyak membantu dalam proses studi mahasiswa. Dengan demikian mahasiswa juga secara tidak langsung dituntut untuk memiliki social responsibility.
Ada dua peran mahasiswa dalam rangka membuktikan social responsibity-nya yaitu:
- Berperan sebagai petugas knowledge transfer dari dunia kampus menuju luar kampus dalam upaya mencerdaskan bangsa dalam berbagai bidang terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah
- Sebagai pelopor dalam pembentukan community development untuk memacu dinamisasi kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pendidikan adalah masalah khas manusia. Artinya adalah hanya manusialah yang mempunyai persoalan pendidikan sepanjang dia itu hidup. Sedangkan makhluk lain hidup dalam keadaan yang relatif stabil tanpa adanya sebuah perubahan yang berarti, apalagi perkembangan. Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, norma budaya dan adat istiadat masyarakat. Budi pekerti akan mengidentifikasi perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.
Karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut.
Sebagai agen perubahan mahasiswa mempunyai peran penting dalam membantu persoalan pendidikan yang ada di Indonesia. Melalui usaha-usaha pemberdayaan masyarakat, progres pengabdian ke masyarakat sebagai bentuk integritas terhadap masyarakat.
3.2. Saran
Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan.
0 Response to "Makalah Membangun Karakater Bangsa Melalui Pendidikan"
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya