Makalah Indonesia Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945


A. Latar Belakang
 
Sebelum memperoleh kemedekaan, bangsa Indonesia terlebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya yang dikenal dengan “Proklamasi Kemerdekaan”. Proses ini berawal dari terdengarnya berita kekalahan Jepang dari pihak sekutu, seketika juga kelompok pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Akan tetapi dengan alasan menunggu janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta tidak dengan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang mendorong para pemuda melakukan aksi penculikan terhadap Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok yang akhirnya dikenal dengan “Peristiwa Rengasdengklok”. Atas nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun demikian, Belanda tidak mengakui kemerdekaan itu dan terus berusaha untuk menjajah Indonesia kembali.Setelah kedatangan sekutu ke Indonesia dalam rangka mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang, ternyata diikuti oleh Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia, maka rakyat Indonesia di berbagai daerah mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Bangsa Indonesia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemerdekaan. Ada dua bentuk perjuangan mempertahakan kemerdekaan, yaitu perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi. Disini saya hanya menjelaskan bentuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi. Perjuangan diplomasi dilakukan dengan cara menggalang dukungan dari negara-negara lain dan lewat perundingan-perundingan. Kemerdekaan Indonesia tentu merupakan sebuah bencana bagi negara yang telah menjajah Indonesia.. Maka, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi, ia adalah awal perjuangan baru bangsa ini dalam membangun sebuah tatanan berbangsa dan bernegara. Sebuah negara berdiri bukan hanya berdasarkan wilayah, namun juga membutuhkan perangkat pemerintahan, dan yang terpenting adalah pengakuan kedaulatan dari negara lain. Karena pada hakikatnya (seperti halnya manusia sebagai makhluk sosial), dalam kehidupan bernegara juga membutuhkan negara lain agar bangsa dan negara ini dapat bergaul dan tidak terkucilkan dalam hubungan internasional.

B. Pembahasan
 
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Perancis yaitu diplomatie.
Selain berjuang mempertahankan Indonesia melalui perjuangan fisik, Indonesia juga berusaha tetap mempertahankan kemerdekaanya melalui perjuangan Diplomasi. Diplomasi artinya perundingan/perjanjian yang dibuat untuk disepakati. Para pejuang diplomasi Indonesia berunding dengan Belanda untuk membuat perjanjian yang akan dilaksanakan.
Berikut adalah berbagai perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:


1. Perundingan Hoge Veluwe
 
Saat ini nama Hoge Veluwe merupakan sebuah daerah wisata hutan lindung yang indah, yang terletak ditengah negeri Belanda. Sebagai daerah wisata, tempat rekreasi alam ini dilengkapi dengan danau yang indah, jalan untuk bersepeda dan sebuah museum yang memamerkan banyak lukisan pelukis Belanda terkenal, termasuk dari Vincent van Gogh. Dibalik keindahan itu semua tempat ini pernah menjadi saksi sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tempat ini dimasa era mempertahankan kemerdekaan merupakan tempat diplomasi / perundingan antara Indonesia dengan Belanda.


Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan las a Republik Indonesia dan pasca kekalahan las a-negara fasis dalam Perang Dunia II Sekutu secara khusus ialah Belanda berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. Namun, disisi lain upaya untuk menjajah kembali Indonesia itu mendapat penolakan keras dari rakyat Indonesia. Akibatnya terjadi saling kontak sejata antara tentara Belanda dengan tentara Indonesia. Untuk mengatasi hal ini kedua belah pihak akhirnya mengadakan dialog/perundingan.

a). Pra Perundingan Hoge Velue
Sebelum diadakan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia di Belanda. Sebelumnya telah ada dialog antara keduanya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10 Februari – 12 Maret 1946. Dalam perundingan ini pihak Indonesia yang diwakilkan oleh Sutan Syahrir berhasil mencapai titik perundingan dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara de facto terdiri dari Jawa dan Sumatra oleh Belanda dengan wakilnya Van Mook disertai penengah dari Inggris A. Clark Kerr dan Lord Killearn. Namun perundingan ini mengalami permasalahan di tingkat pejabat Belanda di Den Haag, pejabat di Den Haag cenderung mengabaikan hasil perundingan yang diadakan di Jakarta ini.


b). Proses Perundingan Hoge Velue di Belanda
Usaha untuk terus mencapai kedaulatan telah diupacayakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim perwakilannya untuk berunding dengan pemerintah Belanda di Den Haag agar Belanda segera mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perundingan ini wakil-wakil Indonesia diwakilkan oleh; Mr Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah MenHanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri) dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo dan dipihak Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri las a), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).

Perundingan dilaksanakan di Hoge Velue pada tanggal 14-24 April 1946 dan berlangsung sangat a lot sebab delegasi Belanda ini mengabaikan perundingan yang telah disepakati sebelumnya di Jakarta (Van Mook – Syahrir).

Perundingan Hoge Velue membahas pokok permasalahan:
  • Substansi konsep perjanjian atau las an sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh perundingan Hoge Veluwe,
  • Pengertian yang diajukan dalam konsep las an Belanda seperti Persemakmuran (Gemeenebest); las a merdeka (Vrij-staat),
  • Pengertian struktur las a berdasarkan federasi,
  • Pengertian mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau Jawa.
Pihak Belanda terus bersikeras untuk menolak hasil perundingan sebelumnya di Jakarta (Van Mook – Syahrir) dengan las an pemerintah Belanda saat itu karena untuk dapat menerima hasil perundingan di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak beberapa lama lagi akan berlangsung.

2. Perundingan Linggarjati



A. Latar Belakang Perundingan
 
Pemerintahan awal yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta adalah pemerintahan dengan sistem Kabinet-Presidensial. Ternyata sistem pemerintahan ini memiliki kelemahan. Indonesia dianggap sebagai negara fasis buatan Jepang, sehingga sulit memperoleh pengakuan dari pihak sekutu dan Belanda. Selain itu, Presiden Soekarno memiliki citra yang kurang baik di luar negeri karena ia dicap sebagai kolaborator Jepang.
 
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dikeluarkanlah Maklumat Negara RI No.X tahun 1945. Maklumat ini berisi tentang perubahan KNIP menjadi badan legislatif dan mempunyai hak ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Untuk melaksanakan maklumat tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa revolusioner (Soebadio, 1987: 63-64), dan untuk itu ditunjuklah Sjahrir tokoh yang bersih dari pengaruh Jepang dan memiliki tempat istimewa di kalangan pemuda Indonesia. Kabinet presidensial Sukarno kemudian diganti oleh kabinet parlementer, dan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama (Raliby, 1953: 94). Kabinet Parlementer ini merupakan perwujudan perjuangan demokrasi melawan fasisme, sehingga diharapkan Republik Indonesia akan memiliki kedudukan yang kuat karena pemerintahannya dipimpin oleh seorang pejuang demokrasi yang bebas dari fasisme.
Dalam kepemimpinannya ia memilih cara elegan dalam menghalau penjajah, yakni melalui diplomasi, cara yang pada masa itu ditentang oleh tokoh revolusi lainnya yang lebih mengutamakan perjuangan fisik. Banyak pihak yang menganggap jalan yang dipilih Sjahrir terlalu jauh memberi konsesi pada pihak Belanda.
 
Salah satu cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan dari luar negeri yaitu dengan cara melakukan perundingan, mulanya Pemerintah Inggris yang ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirimkan Sir A. Clark Kerr, sedangkan pemerintah Belanda diwakili oleh Gubernur Jendral van Mook. Selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggungjawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat dari Inggris mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14-25 April 1946, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe ini, maka kemudian diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa Barat.
 
Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan status kemerdekaan Indonesia. Bermula ketika masuknya AFNEI yang datang dengan “memboncengi” NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November.
 
Perundingan Linggarjati diadakan pada tanggal 11 November sampai 13 November 1946, tetapi para delegasi sudah berada di Linggarjati pada tanggal 10 November. Tetapi hasil dari perundingan Linggarjati baru bisa di tandatangan pada bulan Maret 1947, dalam senggang waktu tersebut, para delegasi memperbaiki isi-isi dari perjanjian agar kedua belah pihak menemui titik temu untuk menyetujui perjanjian Linggarjati. Pada mulanya gedung yang di jadikan lokasi perundingan di Linggarjati adalah sebuah penginapan, kemudian berdasarkan keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Mr. Ali Boediardjo bahwa mengusulkan Linggarjati sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu Mrs. Maria Ulfah Santoso, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial RI.
Kemudian terpilihnya lokasi di Linggarjati adalah dari pengusulan Ibu Mrs. Maria, lalu ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan, sehingga ia mengenal betul daerah tersebut. Lokasi Linggarjati ini terletak dilereng gunung Ciremai yang memiliki hawa sejuk dan indah. Selain itu Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kedua pejabat tersebut kebetulan dari partai Sosialis. Sehingga keamanannya terjamin. Selain faktor-faktor tersebut. Dipilihnya Linggarjati sebgai lokasi perundingan adalah pada saat itu menghindari pengaruh dari Belanda di Jakarta, dan lokasi Ibu Kota negara dipindahkan ke Yogjakarta, sehingga dipilihnya Linggarjati adalah dilihat dari lokasi Linggarjati terletak di tengah-tengah antara Jakarta dan Yogjakarta. Selain itu faktor alam yang ketika itu daerah Linggarjati masih sepi, sekitar 10 rumah yang berada di sekitar gedung tempat perundingan, sehingga lingkungan sekitar juga mempengaruhi perundingan Linggarjati.

Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada saat itu telah mendapatkan kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pemerintah Belanda, dalam hal ini berwakilkan Komisi Jenderal, dan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia, atas dasar keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia. Dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang baik, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majelis-majelis perwakilan rakyatnya masing-masing.
 
b). Tokoh yang Terlibat
 
Tokoh yang berasal dari Indonesia:
 
1. Sutan Sjahrir
Sebagai orang yang pernah menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia merupakan arsitek perubahan kabinet Presidensial menjadi kabinet Parlementer. Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan. Ia selalu berkata bahwa cara mencapai kemerdekaan tidak selalu mesti menggunakan senjata. Sjahrir ingin menunjukan kepada dunia Internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-perang dunia II. Dibuktikan dengan mengadakan hubungan dengan luar negeri agar Indonesia mendapat dukungan, seperti India dan Australia contohnya. Sementara dalam negeri dibuktikan dengan mengadakan diplomasi terhadap Belanda yang pernah menjajah untuk mengakui Indonesia telah merdeka. Contohnya dengan menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati saat ia menjadi perdana menteri.
 
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo
Mr. Soesanto Tirtoprodjo merupakan seorang kelahiran Solo, Jawa Tengah 1900-1969). Ia pernah menjadi menteri kehakiman dan menteri dalam negeri dalam enam kabinet yang berbeda, termasuk saat kabinet Sjahrir. Karena itulah dalam perundingan Linggarjati ia turut andil sebagai delegasi dari Indonesia. Mr. Soesanto juga ikut menandatangani perundingan ini sebagai bukti tanggung jawab pemenuhan tugasnya terhadap negara.
 
3. Dr. A. K. Gani
A.K Gani merupakan seorang kelahiran Sumatra Barat. Ia merupakan bagian dari susunan kabinet Syahrir, saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati. Sebagai delegasi ia memberikan sumbangan pemikiran dalam isi perundingan. Ketika penandatanganan isi perjanjian di Jakarta, A. K. Gani ikut menandatanganinya.
 
4. Mr. Mohammad Roem
Mr. Mohammad Roem merupakan delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati. Keterlibatannya dalam perundingan ini adalah karena ia menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia dalam kabinet Sjahrir III. (Natsir, 2009)
 
Adapun tokoh lainnya dari Indonesia yang berperan penting dalam perundingan Linggarjati ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin (menteri pertahanan), Mr. Ali Boediardjo (sekretaris). Semuanya merupakan notulen sekaligus para saksi dari Indonesia dalam perjanjian ini. Terdapat pula Lord Killearn yang merupakan seorang tokoh yang berasal dari Inggris. Ia merupakan pemimpin perundingan sekaligus penengah atau mediator dalam perundingan Linggarjati. Secara tegas perundingan Linggarjati berada dibawah pengawasan Killearn. Killearn merupakan commissioner khusus Inggris untuk Asia Tenggara.
 
Adapun Tokoh yang berasal dari Belanda yaitu Prof. Mr. Schermerhorn sebagai ketua delegasi Belanda, Dr. Van Mook sebagai anggota, Mr. Van Pool sebagai anggota, dan Dr. F. De Boer sebagai anggota.

c). isi Perundingan Linggarjati
 
Sebagai kelanjutan perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggajati diadakan perundingan yang menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut:
 
  1. 1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949.
  2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
  3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981:119).
Adapun isi dari Perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 Pasal dan 1 Pasal Penutup, yaitu:
Pasal 1
 
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
 
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut itu telah selesai.
 
Pasal 2
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
 
Pasal 3
Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan, bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan Negara Indonesia Serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu terhadap Kerajaan Belanda.
 
Pasal 4
(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
 
(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1) pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibu-negerinya.
Pasal 5
 
(1) Undang-undang Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
 
(2) Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggung-jawab dari pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.
 
Pasal 6
(1) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerja bersama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia Serikat.
 
(2) Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao satu dengan lainnya.
Pasal 7
 
(1) Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini, Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
 
(2) Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan negara-negara itu.
 
(3) Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerja-bersama dalam hal perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
 
Pasal 8
Di pucuk Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.
 
Pasal 9
Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
 
Pasal 10
Anggar-anggar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung ketentuan-ketentuan tentang:
a). pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain;
b). hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya;
c). aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;
d). pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan Bangsa-Bangsa.
 
 Pasal 11
(1) Anggar-anggar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
 
(2) Anggar-anggar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.
 
Pasal 12
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.
 
Pasal 13
Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
 
Pasal 14
Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
 
Pasal 15
Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan menurut hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan, supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.
 
Pasal 16
Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan balatentaranya masing-masing.
 
Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.
 
Pasal 17
(1) Untuk kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.
 
(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh perselisihan berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga perundingan antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan kepada arbitrage. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.
 
Pasal Penutup
Persetujuan ini dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya. (Natsir, 2010).
Secara garis besar dari hasil perundingan tersebut :
 
  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
  2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
  4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
d). Kendala dalam Pembuatan Perundingan
 
Pada akhirnya Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sutan Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, (Ricklefs, 2008; 472) karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut.
 
Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
 
Secara umum dikalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan, persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Belanda. Penolakan diantaranya datang dari kalangan nasionalis seperti dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat bernama “Godam Jelata” ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis “Anti Linggarjati sampai mati”. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis yang tergabung dalam sayap kiri, dan oleh Soekarno-Hatta.
 
Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati bulan Mei 1947, Komisi Jenderal mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas Indonesia secara “de jure” sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni 1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
 
Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. (Ricklefs, 2008).

e). Dampak Perundingan terhadap Asing
Dampak perundingan terhadap asing, dalam hal ini adalah Belanda, hasil perundingan ini tetap memberikan kesempatan untuk Belanda membangun kembali kekuatannya di Indonesia. Pada dasarnya pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Belanda mengharapkan bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan Indonesia, sebagai dalih atau kesempatan untuk bisa membangun kekuatan Belanda di Indonesia lagi (Fattah, 2009).

f). Dampak Perundingan terhadap Indonesia
Secara langsung, perundingan Linggarjati berisikan tentang pemindahan kekuasaan dari daerah yang diduduki oleh tentara sekutu dan Belanda secara berangsur-angsur.
Namun hasil yang paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan oleh Belanda secara de facto terhadap kekuasaan pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Karena ini merupakan titik tolak eksistensi Indonesia dalam pandangan asing. Bukan hanya Belanda, perundingan linggarjati juga berdampak terhadap negara asing lainnya yang berangsur-angsur mengakui kekuasaan RI, diantaranya:
 
1. Inggris : 31 Maret 1947
2. Amerika Serikat : 17 April 1947
3. Mesir : 11 Juni 1947
4. Lebanon : 29 Juni 1947
5. Suriah : 2 Juli 1947
6. Afganistan : 23 September 1947
7. Burma : 23 november 1947
8. Saudi Arabia : 24 November 1947
9. Yaman : 3 Mei 1948
10. Rusia : 26 Mei 1948
 
Kesepakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus menjadi bagian pesemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar kepada Indonesia yang menginginkan kedaulatan. Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia terhindar dari banyaknya korban jiwa yang jatuh. Dimana dengan adanya perundingan tersebut dimaksudkan untuk mencegah peperangan. Perundingan Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini didasari keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai untuk mencapai tujuan adalah yang paling baik dan paling aman bagi Indonesia karena kelemahannya di bidang militer (Moedjanto, 1988:183).
 
Selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yaitu adanya gejolak dalam tubuh pemerintahan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan KNIP tidak secepatnya mengesahkan perjanjian linggarjati karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Hindia belanda ketimbang pihak Indonesia sendiri yang dimana Indonesia menghendaki kemerdekaan sepenuhnya. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI dan pengikut Tan Malaka begitu keras menentang perjanjian Linggarjati. Kelompok yang berseberangan menilai apa yang dilakukan Sjahrir adalah demi memperoleh kekuasaan. Namun pada dasarnya keberadaan Sjahrir bukanlah sebagai pengganti, akan tetapi pelengkap dan vital bagi Soekarno-Hatta. Pimpinan revolusi kemerdekaan Indonesiapun ada dalam tangan ketiga pimpinan yang saling mendukung dan sering disebut triumvirat de facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir (Loebis, 1992: 314-316). Walaupun pada akhirnya KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25 Maret 1947 setelah Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
 
Dampak yang lebih terasa lagi, adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia. Hal ini diakibatkan karena Belanda menganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian linggarjati. Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Linggarjati. Agresi pun dilakukan keesokan harinya pada tanggal 21 Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera dengan pesawat terbang melakukan pemboman dan penculikan petinggi negara Indonesia.

g). Kesimpulan
Pokok atau inti dari Perundingan Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
 
Dari pokok tersebut memiliki dampak yang positif maupun negatif bagi kedua belah pihak. Bagi Indonesia perundingan Linggarjati adalah usaha untuk menancapkan eksistensi Indonesia dalam kehidupan bernegara serta kedaulatan wilayah yang utuh. Sementara Belanda ingin kembali mengumpulkan pundi-pundi kekuasaan di Indonesia yang sempat hilang. Sebab Inggris dilibatkan dalam perundingan ini adalah sebagai penengah agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara Belanda dan Indonesia.


3. Agresi Militer Belanda I, Terbentuknya KTN, dan Perundingan Renville


Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan yang besar-besaran terhadap daerah-daerah RI. Agresi Belanda tersebut menyebebkan jatuhnya beberapa kota penting RI. Bagi Belanda, tindakan agresinya itu dianggap sebagai aksi polisional, yang menganggap perjuangan bangsa Indonesia menghadapi Belanda sebagai tindakan kaum ekstrimis yang memberontak terhadap pemerintah Belanda yang sah.
 
Agresi Militer Belanda I, mendapat reaksi dan kecaman yang keras dari negara-negara di kawasan Asia dan negara-negara anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, Belanda dianggap telah menyelewengkan dana bantuan program Marshall Plan untuk menyerang Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus 1947, DK-PBB menyerukan kepada Belanda dan Indonesia agar mengadakan gencatan senjata dan segera mengadakan perundingan. Pada tanggal 4 Agustus 1947, DK-PBB mengumumkan penghentian tembak-menembak, yang mengakhiri Agresi Militer Belanda I.
 
Upaya selanjutnya dari DK-PBB adalah membentuk Komisi Jasa Baik (Goodwill Commission)yang dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Australia (diwakili Richard Kirby), Belgia (diwakili Paul van Zeeland) dan Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank B. Graham). Setelah tiba di Jakarta, wakil-wakil KTN mengadakan penelitian tentang keadaan di Indonesia dengan pendekatan kepada kedua belah pihak yang bertikai. Kemudian KTN mengusulkan agar perundingan diselenggarakan di atas kapal milik AS, yaitu kapal AL USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947.
 
Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdoel Kadir Widjojoatmodjo (seorang Indonesia yang pro Belanda).
Meskipun perundingan berjalan alot, KTN berhasil mengusulkan usul politik untuk dipilih kedua belah pihak yaitu :
 
a) kemerdekaan bagi bangsa Indonesia
b) kerja sama Indonesia-Belanda
c) dibentuknya suatu negara federasi
d) dibentuknya suatu Uni Indonesia-Serikat dan bagian lain
Akhirnya perundingan di kapal Renville berhasil ditandatangani oleh semua pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a) Persetujuan gencatan senjata
b) 5 pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna memperlancar penyelesaian politik, antara lain :
1) Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia, sampai kedaulatan diserahkan kepada RIS yang segera akan dibentuk.
2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat mengerahkan sebagian dari kekuasaannya pada suatu pemerintahan federal sementara.
3) RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat, sederajat dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda. Namun Raja Belanda bertindak sebagai Kepala Uni.
4) RI merupakan bagian dari RIS.
5) Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera untuk menentukan masuk RI atau RIS (di daerah-daerah RI yang diduduki Belanda hasil Agresi I).
Hasil perundingan Renville jelas telah merugikan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan politisi nasional maupun pejuang pergerakan. Adapun kerugian yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville adalah sebagai berikut :
 
  • Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.
  • Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya karena grais Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
  • Pihak republik Indonesia harus menarik seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda dan kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.
  • Penandatanganan naskah perjanjian Renville menimbulkan akibat buruk bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:
  • Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikururung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.
  • Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda.
  • Perekonomian Indonesia diblokade secara ketata oleh Belanda
  • Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.
  • Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, seperti; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara jawa Timut. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
4. Agresi Militer Belanda II
 
Agresi militer II Belanda terjadi pada 19 Desember 1948. Agresi militer itu diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara itu juga menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera, yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranega.Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo Yogyakarta hari itu, Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville.
 
Penyerangan terhadap Yogyakarta diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo. Pada pukul 05.45 pagi itu, lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan, dengan persenjataan sangat minim. Akibatnya, dalam waktu singkat bandara Maguwo jatuh ke tangan pasukan Belanda. Sebanyak 128 tentara Indonesia tewas, sedangkan di pihak Belanda tidak ada satu pun korban.
 
Beriringan dengan agresi ke Yogyakarta, pasukan Belanda juga menyerang daerah-daerah lain di Jawa. Segera setelah mendengar berita agresi militer yang dilakukan Belanda tersebut, Panglima Besar Soedirman pun mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00, dan perang gerilya melawan Belanda pun dimulai.
 
Akibat agresi militer Belanda tersebut, pihak internasional melakukan tekanan terhadap Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda. Akhirnya, dengan terpaksa, Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Royen

5. PDRI dan Serangan Umum 1 Maret 1949


Sebenarnya, sebelum para pemimpin RI ditangkap Belanda, para pemimpin TNI dan Presiden RI sempat mengadakan sidang kilat yang menghasilkan keputusan, di antaranya yaitu :
 
a) Memberi kuasa penuh kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera;
 
b) Kepada Mr. Maramis, L.N. Palar, dan Dr. Soedarsono yang sedang berada di India diberi tugas untuk membentuk Pemerintah Pelarian RI di India bila PDRI di Bukittinggi gagal.
 
Selanjutnya Presiden Soekarno melalui radiogram segera memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu sedang berada di Sumatera (Bukittinggi) agar membentuk PDRI. Dengan demikian, walaupun para pemimpin RI serta ibukota berada di tangan Belanda, pemerintahan RI terus tetap berjalan.
 
Terlepas dari polemik tentang siapa sebenarnya yang memiliki ide awal untuk melakukan serangan umum tanggal 1 Maret 1949 ke Yogyakarta apakah Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Letkol Soeharto, toh dalam kenyataannya TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Keberhasilan serangan ini kemudian disiarkan melalui radio di Wonogiri ke seluruh penjuru dunia. Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti yang sangat penting bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, yaitu :
 
a. Ke dalam; secara psikologis dapat mendorong semangat perjuangan TNI dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang melakukan perang gerilya.
b. Ke luar; secara politik untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dan negara RI masih ada dan sekaligus membantah kebohongan Belanda yang menyatakan negara RI dan TNI sudah tidak ada lagi.

6. Perundingan Roem-Royen

Berbagai bangsa di Asia, Afrika, dan Australia mengecam tindakan Belanda yang melakukan agresinya yang kedua ke Indonesia. Atas prakarsa Birma dan India, pada tanggal 20-23 Januari 1949 diselenggarakan Konferensi Asia di New Delhi, India. Dalam konferensi itu khusus membahas acara tunggal, yaitu Agresi Militer Belanda II. Konferensi tersebut menghasilkan suatu resolusi tentang masalah RI-Belanda, yaitu :
 
a) Belanda harus mengembalikan Pemerintahan RI ke Yogyakarta;
b) Pembentukan Pemerintahan ad-interim yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c) Tentara Belanda harus ditarik dari seluruh wilayah RI;
d) Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Usaha perundingan kemudian ditempuh kembali dengan diadakannya perundingan awal di Jakarta tanggal 14 April 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen. Perundingan tersebut di bawah pengawasan UNCI yang dipimpin oleh Merle Cochran. Melalui perdebatan yang sengit, akhirnya dicapai persetujuan pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Persetujuan Roem-Roijen (Roem-Roijen Statement). Persetujuan tersebut antara lain berisi :
 
a) Pemerintah RI bersedia menghentikan perang gerilyanya;
b) Pemerintah RI bersedia menjalin kerjasama untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban;
c) Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta;
d) Pemerintah Belanda bersedia menghentikan operasi militernya, membebaskan semua tahanan politik serta berusaha dengan sungguh-sungguh agar KMB segera dilaksanakan setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.


7. Konfrensi Inter-Indonesia

Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia.
 
Konferensi ini banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hasil kesepakatan dari Konferensi Inter-Indonesia adalah:
  1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat).
  2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
  3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.
  4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
  5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.

Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan:

  1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
  2. Lagu kebangsaan Indonesia Raya
  3. Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
  4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO. Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara.
 Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.


1. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB:
  • Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.
  • BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
  •  Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
  •  UNCI diwakili oleh Chritchley.
Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi
tersebut. Berikut merupakan hasil KMB:
 
  • Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
  • Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
  • Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
  • Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
  • Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
  • Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia,sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia. Berikut merupakan dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia:

  •  Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
  • Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.
  • Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
  • Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI.


0 Response to "Makalah Indonesia Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945 "

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya