Kliping Tentang Demokrasi
Mesir Batalkan Pertemuan dengan Politisi AS
Politisi AS mengajukan syarat kepada Mesir bila ingin tetap menerima bantuan militer
Selasa, 7 Februari 2012, 12:45 WIB
Renne R.A Kawilarang, Indrani Putri
VIVAnews - Delegasi militer Mesir pekan ini membatalkan pertemuan mereka dengan para anggota parlemen Amerika Serikat. Pembatalan itu menyusul kritik dari Gedung Putih dan Kongres AS mengenai sikap penguasa militer Mesir yang baru-baru ini menyeret 43 pegiat lembaga swadaya masyarakat ke pengadilan.
Menurut kantor berita Reuters, pembatalan pertemuan di Washington DC itu diumumkan pada Senin waktu setempat. Situasi ini mengancam prospek berlanjutnya bantuan militer tahunan AS ke Mesir, yang kini sebesar US$1,3 miliar.
Juru bicara Kedutaan Besar Mesir di Washington DC membenarkan kabar pembatalan pertemuan itu, namun tidak dijelaskan alasannya. Para delegasi Mesir pun sudah bertolak ke Kairo.
Pekan lalu delegasi militer Mesir sempat bertemu dengan para pejabat Departemmen Luar Negeri AS. Dalam pertemuan itu AS menjabarkan sikap mereka mengenai LSM-LSM pro demokrasi serta syarat terbaru dari Kongres atas bantuan militer kepada Mesir.
Rupanya, kalangan politisi AS keberatan dengan sikap Mesir yang tengah menindak para aktivis LSM dengan alasan mengganggu keamanan. Dari 40-an aktivis asing dan Mesir yang diadili, 19 berasal dari AS.
Perkembangan itulah yang menyebabkan kalangan politisi AS keberatan bila harus membicarakan kelanjutan bantuan militer bagi Mesir. Mereka mensyaratkan Mesir harus menunjukkan komitmen dalam menegakkan demokrasi bila tetap ingin menerima bantuan militer dari AS.
"Saya tidak akan, katakanlah, mengucurkan dana dengan asumsi Mesir berkomitmen mewujudkan demokrasi padahal sebenarnya tidak. Jika kondisi Mesir tak juga membaik, ke depannya akan lebih buruk lagi," kata Senator Patrick Leahy.
Mengenalkan Demokrasi Indonesia kepada Dunia
Dalam Bali Democracy Forum, Indonesia memperkenalkan demokrasi yang pluralis dan inklusif
Jum'at, 2 Desember 2011, 14:38 WIB
Renne R.A Kawilarang
Mohammad Reza Adenan (Dokumentasi Pribadi)
VIVAnews - Indonesia akan menggelar Bali Democracy Forum yang keempat pada tanggal 8-9 Desember 2011, dengan mengundang 54 negara peserta dan 66 pengamat. Selama empat kali penyelenggaraannya Bali Democracy Forum telah mampu meningkatkan perannya sebagai pusat arsitektur demokrasi kawasan.
Dalam forum antar pemerintah tersebut negara-negara di kawasan dapat membicarakan demokrasi secara konstruktif terlepas dari political taboo dan stardarisasi yang restriktif. Tingkat akseptabilitas dan animo yang tinggi dari negara-negara peserta dan pengamat disebabkan karena prinsip Bali Democracy.
Forum yang inklusif namun konstruktif, yaitu menempatkan semua negara peserta dalam posisi ‘unik’ dan melalui sharing experience dan best practices dapat menggali mekanisme demokrasi sesuai dengan kondisi masing-masing negara.
Terlepas dari masih banyaknya kritik adanya kekurangan atau flaws dari demokrasi di Indonesia, perlu di garis bawahi bahwa apocalyptic view yang meramalkan mengenai ‘Balkanisasi Indonesia’ dan kegagalan berdemokrasi terbukti salah, pandangan yang menyangsikan kemampuan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan multikulturisme bangsa, terbukti tidak benar.
Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman para kritikus terhadap kondisi bahwa pada kenyataannya pola pikir, budaya dan nilai luhur masyarakat Nusantara mampu menerima pemikiran-pemikiran progresif dengan mempertahankan pluralisme yang bersifat inklusif sebagai pilar penopang rasa ke-Indonesiaan yang unik dan kokoh.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan bukti empiris dari tingginya nilai-nilai luhur sejarah Nusantara, dan bahwa nilai-nilai tersebut memiliki sifat home-grown, karena sebuah Negara dengan penududuk mayoritas Muslim mampu beradaptasi dan menganut dasar filosofis Negara berlatar belakang epik Hindu-Budha.
Pluralisme, demokrasi dan inklusifitas merupakan nilai yang tidak dapat dipisahkan selama perjalanan sejarah Nusantara dan Indonesia kontemporer, hal tersebut merupakan inherent wisdom dalam kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia.
Dalam artikel nya berjudul Democratic Response (2002) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan mantan Menteri Luar Negeri Dr. Nur Hassan Wirajuda menyatakan bahwa konflik dan ketidak-stabilan politik berakar dari satu permasalahan yaitu imbalance in human relationships. Demokrasi merupakan proses dari dalam menemukan keseimbangan tersebut kembali.
Indonesia telah melewati masa-masa menentukan dalam proses pematangan dan pemajuan berdemokrasi. Untuk terus mendukung terciptanya serta tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tataran nasional, Indonesia membutuhkan stabilitas kawasan, dengan terus mendukung berbagai upaya dan inisiatif dalam menciptakan komunitas demokrasi di kawasan.
Meminjam istilah Menteri Luar Negeri R.M Marty Natalegawa, pembangunan demokrasi di kawasan merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk “aggressively waging peace”. Indonesia secara konsisten telah mendukung upaya tersebut hal ini tercermin sejak Indonesia memasukkan elemen demokrasi dan HAM dalam ASEAN Political and Security Community Plans of Action tahun 2003.
Upaya Indonesia ini pun dapat dipandang cukup sukses, di antaranya dengan mempertimbangkan bahwa kondisi penegakan HAM di Myanmar berkembang ke arah lebih baik dalam masa Indonesia sebagai Ketua ASEAN.
Berbagi Pengalaman
Satu dekade setelah reformasi atau tepatnya pada tahun 2008, dalam rangka untuk memperkuat realisasi dari antisipasi agar terbentuknya tata bangun demokrasi (democratic architecture) yang kokoh di kawasan, Indonesia memprakarsai penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF).
Dalam kaitan itu, Indonesia berpandangan bahwa sudah menjadi suatu kebutuhan untuk membentuk sebuah forum regional mengenai demokrasi yang dapat berkontribusi pada pengembangan dan intensifikasi dialog serta meningkatkan saling-pengertian dan menghargai di antara bangsa-bangsa di Asia.
Dalam jangka panjangnya, forum tersebut diharapkan dapat berkontribusi pada penciptaan stabilitas dan perdamaian dunia. Berbeda dengan inisiatif mengenai demokrasi lainnya Bali Democracy Forum merupakan platform untuk experience sharing bukan preaching dan untuk berbagi best practices bukan penerapan standarisasi mengenai demokrasi.
Selain itu Bali Democracy Forum merefleksikan nilai-nilai demokrasi Nusantara yaitu: (1) Bahwa demokrasi harus tumbuh dan berkembang atas inisiatif domestik (faktor internal) setiap negara dan tidak dipaksakan dari luar (home-grown); (2) Demokrasi menjunjung nilai-nilai pluralisme dan keberagaman; dan (3) Demokrasi bersifat inklusif, dalam hal ini pengertian demokrasi harus bersifat luas dan terbuka dan bahwa setiap negara dapat berpatisipasi dan berkontribusi untuk berbagi perkembangan demokrasi di negara nya masing.
Bali Democracy Forum merefleksikan keberhasilan Indonesia dalam merajut tata bangun demokrasi dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan di sebuah kawasan yang dulunya dikenal tidak demokratis. Selain itu forum tersebut juga mampu mencapai konsensus agar demokrasi menjadi agenda strategis untuk Asia dalam mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Bali Democracy Forum merupakan hasil rajutan aktualisasi politik domestik dalam politik luar negeri bangsa Indonesia atau biasa disebut intermestic dan potret nyata dari satu dekade lebih perjalanan berdemokrasi bangsa Indonesia. Dengan Bali Democracy Forum dapat disimpulkan bahwa demokrasi tidak saja menjaga bangsa Indonesia dari keruntuhan namun juga membawa bangsa Indonesia ke tempat yang lebih terhormat.
Penulis adalah Diplomat Muda RI. Artikel ini adalah opini pribadi
VIVAnews - Indonesia akan menggelar Bali Democracy Forum yang keempat pada tanggal 8-9 Desember 2011, dengan mengundang 54 negara peserta dan 66 pengamat. Selama empat kali penyelenggaraannya Bali Democracy Forum telah mampu meningkatkan perannya sebagai pusat arsitektur demokrasi kawasan.
Dalam forum antar pemerintah tersebut negara-negara di kawasan dapat membicarakan demokrasi secara konstruktif terlepas dari political taboo dan stardarisasi yang restriktif. Tingkat akseptabilitas dan animo yang tinggi dari negara-negara peserta dan pengamat disebabkan karena prinsip Bali Democracy.
Forum yang inklusif namun konstruktif, yaitu menempatkan semua negara peserta dalam posisi ‘unik’ dan melalui sharing experience dan best practices dapat menggali mekanisme demokrasi sesuai dengan kondisi masing-masing negara.
Terlepas dari masih banyaknya kritik adanya kekurangan atau flaws dari demokrasi di Indonesia, perlu di garis bawahi bahwa apocalyptic view yang meramalkan mengenai ‘Balkanisasi Indonesia’ dan kegagalan berdemokrasi terbukti salah, pandangan yang menyangsikan kemampuan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan multikulturisme bangsa, terbukti tidak benar.
Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman para kritikus terhadap kondisi bahwa pada kenyataannya pola pikir, budaya dan nilai luhur masyarakat Nusantara mampu menerima pemikiran-pemikiran progresif dengan mempertahankan pluralisme yang bersifat inklusif sebagai pilar penopang rasa ke-Indonesiaan yang unik dan kokoh.
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan bukti empiris dari tingginya nilai-nilai luhur sejarah Nusantara, dan bahwa nilai-nilai tersebut memiliki sifat home-grown, karena sebuah Negara dengan penududuk mayoritas Muslim mampu beradaptasi dan menganut dasar filosofis Negara berlatar belakang epik Hindu-Budha.
Pluralisme, demokrasi dan inklusifitas merupakan nilai yang tidak dapat dipisahkan selama perjalanan sejarah Nusantara dan Indonesia kontemporer, hal tersebut merupakan inherent wisdom dalam kehidupan bermasyarakat rakyat Indonesia.
Dalam artikel nya berjudul Democratic Response (2002) Anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan mantan Menteri Luar Negeri Dr. Nur Hassan Wirajuda menyatakan bahwa konflik dan ketidak-stabilan politik berakar dari satu permasalahan yaitu imbalance in human relationships. Demokrasi merupakan proses dari dalam menemukan keseimbangan tersebut kembali.
Indonesia telah melewati masa-masa menentukan dalam proses pematangan dan pemajuan berdemokrasi. Untuk terus mendukung terciptanya serta tumbuh dan berkembangnya demokrasi di tataran nasional, Indonesia membutuhkan stabilitas kawasan, dengan terus mendukung berbagai upaya dan inisiatif dalam menciptakan komunitas demokrasi di kawasan.
Meminjam istilah Menteri Luar Negeri R.M Marty Natalegawa, pembangunan demokrasi di kawasan merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk “aggressively waging peace”. Indonesia secara konsisten telah mendukung upaya tersebut hal ini tercermin sejak Indonesia memasukkan elemen demokrasi dan HAM dalam ASEAN Political and Security Community Plans of Action tahun 2003.
Upaya Indonesia ini pun dapat dipandang cukup sukses, di antaranya dengan mempertimbangkan bahwa kondisi penegakan HAM di Myanmar berkembang ke arah lebih baik dalam masa Indonesia sebagai Ketua ASEAN.
Berbagi Pengalaman
Satu dekade setelah reformasi atau tepatnya pada tahun 2008, dalam rangka untuk memperkuat realisasi dari antisipasi agar terbentuknya tata bangun demokrasi (democratic architecture) yang kokoh di kawasan, Indonesia memprakarsai penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF).
Dalam kaitan itu, Indonesia berpandangan bahwa sudah menjadi suatu kebutuhan untuk membentuk sebuah forum regional mengenai demokrasi yang dapat berkontribusi pada pengembangan dan intensifikasi dialog serta meningkatkan saling-pengertian dan menghargai di antara bangsa-bangsa di Asia.
Dalam jangka panjangnya, forum tersebut diharapkan dapat berkontribusi pada penciptaan stabilitas dan perdamaian dunia. Berbeda dengan inisiatif mengenai demokrasi lainnya Bali Democracy Forum merupakan platform untuk experience sharing bukan preaching dan untuk berbagi best practices bukan penerapan standarisasi mengenai demokrasi.
Selain itu Bali Democracy Forum merefleksikan nilai-nilai demokrasi Nusantara yaitu: (1) Bahwa demokrasi harus tumbuh dan berkembang atas inisiatif domestik (faktor internal) setiap negara dan tidak dipaksakan dari luar (home-grown); (2) Demokrasi menjunjung nilai-nilai pluralisme dan keberagaman; dan (3) Demokrasi bersifat inklusif, dalam hal ini pengertian demokrasi harus bersifat luas dan terbuka dan bahwa setiap negara dapat berpatisipasi dan berkontribusi untuk berbagi perkembangan demokrasi di negara nya masing.
Bali Democracy Forum merefleksikan keberhasilan Indonesia dalam merajut tata bangun demokrasi dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan di sebuah kawasan yang dulunya dikenal tidak demokratis. Selain itu forum tersebut juga mampu mencapai konsensus agar demokrasi menjadi agenda strategis untuk Asia dalam mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Bali Democracy Forum merupakan hasil rajutan aktualisasi politik domestik dalam politik luar negeri bangsa Indonesia atau biasa disebut intermestic dan potret nyata dari satu dekade lebih perjalanan berdemokrasi bangsa Indonesia. Dengan Bali Democracy Forum dapat disimpulkan bahwa demokrasi tidak saja menjaga bangsa Indonesia dari keruntuhan namun juga membawa bangsa Indonesia ke tempat yang lebih terhormat.
Penulis adalah Diplomat Muda RI. Artikel ini adalah opini pribadi
PPP: UU Pemilu Baru Kemenangan Demokrasi
"Betapa pun mufakat diupayakan, jika tidak ada titik temu, voting bukanlah barang haram."
Sabtu, 14 April 2012, 04:38 WIB
Antique, Febry Abbdinnah, Mohammad Adam
Rapat paripurna DPR RI. (ANTARA/Yudhi Mahatma)
VIVAnews - Partai Persatuan Pembangunan menyambut baik disahkannya Undang-undang Pemilu baru dalam Rapat Raripurna DPR, Kamis lalu, meski hasilnya dicapai melalui proses voting.
"Betapa pun mufakat diupayakan, jika tidak ada titik temu, voting bukanlah barang haram," kata Sekretaris Jenderal DPP PPP M. Romahurmuziy dalam keterangan tertulisnya yang diterima VIVAnews, Jumat malam.
Menurutnya, pengesahan dengan proses voting tidak mengurangi legitimasi atau keabsahan undang-undang. "Kami merasa puas, karena kemenangan voting adalah kemenangan demokrasi, di mana sebanyak mungkin suara dalam pemilu dihargai," tambahnya
Meski demikian, menurut PPP, undang-undang ini memerlukan konsensus seluruh penyelenggaraan negara untuk diberlakukan dalam setidaknya 2-3 kali pemilu mendatang. "Agar rakyat tidak harus belajar dan memulai hal baru setiap kali pemilu," kata Romahurmuziy.
Adapun pemberlakuan ambang parlemen atau parliamentary threshold (PT) secara nasional, tidak dimaksudkan untuk membuang suara. Namun, hal ini menjadi pertimbangan mengingat adanya kemungkinan semakin sedikitnya peserta pemilu karena beratnya syarat kepersertaan.
"PT nasional akan menyederhanakan praktek demokrasi, yang tujuan akhirnya adalah memperkuat sistem presidensiil," tuturnya.
Di Era Demokrasi, FPI Tak Bisa Dibubarkan
Kekerasan agama akan menjadi isu strategis Komisi Hak Asasi Manuasi OKI.
Senin, 20 Februari 2012, 23:27 WIBAntique, Suryanta Bakti Susila
Aksi demi anti FPI (VIVAnews/Fernando Randy)
VIVAnews - Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menilai bahwa tidak ada kekerasan yang disahkan oleh agama. Hal tersebut, terungkap seiring merebaknya kekerasan berkedok agama.
Menurut Ketua Komisi HAM OKI, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kekerasan agama akan menjadi isu strategis komisi yang baru dibentuk oleh organisasi tersebut. "Mereka semua akan melihat itu sebagai common problem (problema umum)," katanyadi Kantor Presiden, Senin 20 Februari 2012.
Namun, dia mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan dukungan dari civil society atau masyarakat madani. Sebab, negara dalam era demokrasi tidak bisa serta merta membubarkan sebuah organisasi seperti yang kini tengah menjadi kontroversi yakni Front Pembela Islam (FPI).
Menurut Siti, menguatnya tuntutan dari masyarakat sipil harus dipertimbangkan pemerintah. Selain itu, organisasi yang dinilai mempraktekkan kekerasan itu juga harus berubah.
"Bagaimana organisasi seperti FPI itu mereformasi diri. Jadi, satu organisasi yang ballance. Karena di era demokrasi, tidak bisa memaksa negara membubarkan FPI," katanya.
"Tapi kiita bisa melihat beberapa hari lalu, dari civil society yang mereka menolak FPI. Ini bisa menjadi basis dari pemerintah untuk mengubah FPI berubah sikap," tambah dia.
Aburizal Bicara Soal Proses Demokrasi RI
Senin, 20 Februari 2012, 23:27 WIBAntique, Suryanta Bakti Susila
Aksi demi anti FPI (VIVAnews/Fernando Randy)
VIVAnews - Komisi Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menilai bahwa tidak ada kekerasan yang disahkan oleh agama. Hal tersebut, terungkap seiring merebaknya kekerasan berkedok agama.
Menurut Ketua Komisi HAM OKI, Siti Ruhaini Dzuhayatin, kekerasan agama akan menjadi isu strategis komisi yang baru dibentuk oleh organisasi tersebut. "Mereka semua akan melihat itu sebagai common problem (problema umum)," katanyadi Kantor Presiden, Senin 20 Februari 2012.
Namun, dia mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan dukungan dari civil society atau masyarakat madani. Sebab, negara dalam era demokrasi tidak bisa serta merta membubarkan sebuah organisasi seperti yang kini tengah menjadi kontroversi yakni Front Pembela Islam (FPI).
Menurut Siti, menguatnya tuntutan dari masyarakat sipil harus dipertimbangkan pemerintah. Selain itu, organisasi yang dinilai mempraktekkan kekerasan itu juga harus berubah.
"Bagaimana organisasi seperti FPI itu mereformasi diri. Jadi, satu organisasi yang ballance. Karena di era demokrasi, tidak bisa memaksa negara membubarkan FPI," katanya.
"Tapi kiita bisa melihat beberapa hari lalu, dari civil society yang mereka menolak FPI. Ini bisa menjadi basis dari pemerintah untuk mengubah FPI berubah sikap," tambah dia.
Aburizal Bicara Soal Proses Demokrasi RI
Aburizal Bakrie diundang sebagai pembicara oleh Lembaga Persahabatan Indonesia - AS.
Selasa, 6 Desember 2011, 22:31 WIB
Maya Sofia
Aburizal Bakrie (VIVAnews/Adri Irianto)
VIVAnews - Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie diundang sebagai pembicara oleh Lembaga Persahabatan Indonesia - AS (United States-Indonesia Society /USINDO) di Amerika Serikat, 7 Desember 2011 waktu setempat. Aburizal akan menyampaikan pandangannya mengenai Indonesia yang tengah berproses menjadi negara demokrasi dengan prospek ekonomi yang cerah dan akan makin menjanjikan sebagai kekuatan baru di dunia jika beragam masalah bisa diatasi segera.
“Sebagai ketua umum Partai Golkar, akan saya sampaikan pandangan mengenai Indonesia Moving Forward, juga situasi politik ekonomi terkini,” ujar Aburizal di Kediaman Resmi Dubes Indonesia di Washington DC, Senin, 5 Desember 2011 waktu setempat.
Selain menyampaikan pandangan mengenai prospek ekonomi Indonesia, politisi yang akrab disapa Ical ini juga akan berbicara soal Partai Golkar.
“Tentu saja saya akan bicara soal Partai Golkar, karena USINDO melihat partai ini sebagai parpol tertua yang justru secara konsisten melakukan transformasi menjadi parpol yang dikelola secara modern, demokratis dan akuntabel,” katanya.
Kunjungan Aburizal ke AS juga dalam rangka menghadiri seminar di Carnegie Endowment Center, mitra Bakrie Center Foundation, pada Selasa, 6 Desember 2011 waktu setempat. Seperti diketahui Bakrie Center Foundation juga bergerak di bidang pendidikan, memberikan beasiswa tingkat lanjutan bagi mahasiswa berprestasi untuk meraih post graduate baik di universitas dalam maupun luar negeri.
“Di Carnegie akan ada diskusi mengenai masa depan kebijakan luar negeri AS terhadap ASEAN dan Asia,” ucapnya.
Seminar di Carnegie Endowment Center rencananya akan menghadirkan pembicara anggota board Carnegie – BCF, Vikram Nehru – keluarga Nehru, dinasti politik di India. (Laporan: Uni Z. Lubis | Washington DC, eh)
0 Response to "Kliping Tentang Demokrasi"
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya