Cerpen Sepuluh Juta Rupiah



Sepuluh Juta Rupiah

Cerpen Karangan: Jovian Andreas

“Nilai Sepuluh juta rupiah pernah ku ingat dari acara Televisi, talkshow, yang dibawakan Helmy Yahya pakai janggut dan memberi uang sebanyak itu pada orang miskin di jalan yang ditemuinya. Dengan uang sejumlah itu harus segera dibelanjakan dengan pergi ke toko perhiasan, perlengkapan rumah tangga dan barang kebutuhan sehari-hari. Nilai itu pada waktu itu cukup besar. Sangat menarik acaranya..” umpat batin Tito sebagai penonton dan merasa tak ingin melewatkan acara tersebut meski Tito seorang laki-laki muda dan pada waktu itu belum menikah. Namun ia suka sekali dengan acara televisi seperti itu.

Tito kini 27 tahun, memang bukan anak orang kaya. Bapak dan ibunya hanyalah mewariskan gerobak yang di pakai buat jualan nasi dan lauk-pauk. Kadang di pakai pagi hari oleh bapak menolong para tukang sayur lapak. Lalu jam tujuh, bapak mendorong gerobak yang sudah di isi berbagai panci dan termos nasi serta kantong kresek yang jelas sekumpulan nasi uduk, nasi kuning, nasi biasa serta berbagai lauk, di bawa bapak Tito menemani ibu untuk tiba di perempatan jalan, di mana di tunggu oleh para supir angkot, supir taxi, atau orang-orang kerja lainnya.

Kedua orang tua Tito sudah tiada. Ibu Asnah sudah meninggal tiga tahun yang lalu, seperti menyusul Bapak Sunardi, yang kini sudah mencapai lima tahun. Tahun dua ribu tiga belas, Tito sendiri berada di rumah dan menangisi masa lalu sebagai penyesalan atas tidak bisanya ia membalas jasa kedua orang tuanya. Sedangkan gerobak Tito itu sudah di lepas untuk pembelinya yang juga pedagang. Oleh karena Tito tidak punya kemampuan berdagang. Warisan bapaknya itu kini sudah entah di mana kerberadaannya.

Namun gerobak itu ingin sekali dicarinya, untuk di ingat masa lalunya. Teringat kalau Tito pernah membantu bapaknya dengan gerobak itu bisa juga menolong orang yang kebanjiran dan mendapat tips bisa sampai tiga puluh ribu sehari. Pokoknya kedua orang tua Tito itu tidak pernah kesulitan mencari uang meski menurut pengamatan, sayangnya mereka agak boros juga demi menyenangkan Tito dan kedua kakaknya. Padahal kedua kakak Tito kurang peduli pada kedua orang tuanya. Terbukti karena usulan merekalah rumah orangtua Tito di jual dan uangnya pun sudah tak ada tandanya. Mereka tinggal di luar kota, bahkan Tito sendiri tidak tahu di mana keberadaan Kak Kumala dan Kak Darsih, yang ikut suaminya.

Sebagai anak laki satu-satunya, Tito sebenarnya meraih pendidikan sarjana muda. Namun karena keadaan Indonesia yang sudah kepenuhan jumlah sarjana dan juga kesulitan Tito menemukan formula untuk merayu berbagai orang di personalia di tiap perusahaan, serta kelemahan Tito sendiri dalam berbahasa asing seperti Inggris, Mandarin, Jepang, dan lainnya

kesempatan Tito bekerja di tempat basah itu tidak pernah ada.

Tito tidak menyesal akan keadaannya sehingga dia bersedia menjadi tukang bangunan sebagai langkah yang jelas aneh, kok sarjana muda mau kerja jadi kuli. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima sebagai warga negara pribumi yang tidak diapresiasi wakil rakyatnya, kalau nasib rakyat muda seperti Tito tidak terjamah pembangunan, tetapi malah akan di sepak ke pinggir jalan atau di suruh ke kampung yang Tito sendiri tidak merasa punya kampung. karena Tito sudah lama di Jakarta dan rumah di kampung sudah dibiarkan jadi milik saudara bapak atau saudara ibunya.

Kembali kepada kata-kata sepuluh juta rupiah dan kenangan dari menonton acara televisi itu, soal nilai hadiah mendadak itu, rasanya nilai sepuluh juta rupiah menjadi kecil. Karena apa, jelas pada saat sekarang ini Tito memandang kenapa harga sepeda motor baru bisa lebih dari sepuluh juta rupiah dan uang sepuluh juta tawaran Enny, gadis yang memberi angin padanya, untuk bisa menikahinya, menjadi kesedihan bagi Tito.

Yah, Tito masih lajang dan masih malu dengan keadaannya sehingga dia membayangkan gerobak bapaknya dulu, seandainya bisa dijadikannya sebagai penambah rejekinya oleh karena penghasilannya sebagai kuli, tidak jelas. Berapa yang uang yang bisa di hemat agar bisa terkejar waktu untuk melamar Enny. Dia jadi malu karena tantangan Enny sebenarnya wajar, kalau pernikahan itu memang harus dirayakan dan biayanya harus laki-lakilah yang tanggung. Jujur saja, kalau ga wanita yang bersedia menanggungnya, pasti yang laki-laki akan tertekan atau direndahkan keluarga si wanita. Namun, kapan ia bisa punya uang sepuluh juta rupiah ya?

Enny juga bukan anak orang kaya. Tito pilih Enny karena tahu Enny hanyalah gadis yang mau jadi SPG di toko di supermarket. Namun Enny mengerti Tito karena Tito termasuk laki-laki baik, alim dan jelas di mata Enny. Bukan pemabok, pembual, atau yang jelek lainnya, sehingga Enny suka pada pribadi Tito meski saran ibunya ditolaknya demi menjaga perasaan Tito. Enny, 23 tahun, juga gadis baik-baik, tidak materialistis dan bukan anak yang suka foya-foya. Pokoknya klop dan tidak ada masalah karena banyak yang menyambut keduanya sebagai pasangan muda di kampungnya. Jakarta memang masih ada yang berwajah melankolis seperti mereka, nah inilah Tito dan Enny, tetap setia pada jalan benar dan mau jadi pasangan yang membanggakan bagi semua orang.

Idealisme Tito semakin kentara dengan dia mendukung respons mahasiswa memprotes pembangunan di Indonesia ini yang lebih fokus pada kemenangan swasta daripada pemerintahnya. Terbukti korupsi pembangunan hambalang, stadion yang direncanakan mengganti senayan. Kabarnya senayan sudah di lego ke Investor asing dari jazirah Arab. Kemudian Jakarta pun akan penuh dengan berbagai aneka beton bangunan pencakar langit dan hilanglah kesejukan atau rindangnya pepohonan. Hilang pula kesahajaan rakyat jelata, kampung yang penuh canda, karena wilayahnya dikuasai investor real estate yang akan membangunkan rumah untuk orang asing. Jakarta dibiarkan penuh dengan aneka kendaraan pribadi hanya membuat macet dan membuat emosi bertengkar antara si kaya dan si miskin. Syukur tidak ada orang miskin di sekitar Tito jadi orang gila atau tukang copet, atau penodong. Sedih bukan?

Tito memang masih mengontrak rumah pada rumah orang yang cukup sukses di Kampung Duri itu. Tito sangat mengerti tanggungjawabnya dan tak akan melupakan kewajiban bayar kontrakan sehingga dia tidak pernah di usir pindah oleh pemiliknya. Apalagi dia cuma sendiri, hebat bukan?

Namun ketika Tito sudah kepincut pada Enny, Tito harus sering keluar rumah demi apel ke rumah Enny. Anak pemilik yang sebenarnya suka padanya, jadi kecewa padanya. Enny juga tahu kalau dia seperti bersaing dengan Nurmawati, gadis yang suka pada Tito itu.

Namun toh cinta mereka berjalan dua tahun. Ketika tawaran sepuluh juta itu datang, Tito baru mengantungi uang delapan juta rupiah. Namun sayangnya uang sepuluh juta itu tidak bisa dideposito bank karena permintaan bank juga sama, minimal sepuluh juta rupiah. Tito kemudian tergoda, ada orang menawarkan bisnis tabungan emas, ada orang menawarkan bisnis MLM, bisnis forex. Kesemuanya pakai modal dan rayuan akan untung besar..

“Pokoknya setengah tahun deh Tito, kamu mendapat untung lima kalinya..”

Dan masih banyak kata-kata manis dari mereka yang mengajak Tito bermain bisnis yang membuatnya harus mengeluarkan uang hingga delapan juta rupiah itu tinggal satu juta rupiah. Sampai akhirnya Enny mendampratnya,” Kita bisa saja tidak menikah kalau begitu caramu, kak!”

“Tenang En, ini kan usaha, siapa tahu uangku bisa jadi berkembang lebih dari dua puluh juta rupiah..,” tanggap Tito menenangkan Enny.

“Kalau ada cowo yang melamarku dan sampai saat itu kamu belum menunjukkan uangmu, kamu jangan menyesal, kalau aku menerimanya!” ancam Enny sambil pergi masuk ke rumahnya.

Memang Tito kadang khawatir juga dengan kenekadannya memberi tujuh juta rupiah pada para perayu itu dan ternyata lenyap tak kembali. Tetapi kadang Tito masih berpikir akankah jawaban manis itu bisa diterimanya.

Tito tetap seorang anak muda yang baik. Dia tidak bisa memberikan janji pada kekasihnya dan dia hanya pasrah pada Tuhan supaya jawaban yang akan diterimanya baik. Walau saat itu, oknum-oknum perayu itu sudah kabur entah di mana. Kabar yang pasti para pebisnis forex hancur karena tragedi Spanyol dan Yunani yang perekonomiannhya ambruk. Karena forex sifatnya adalah untung-untungan dan kebetulan imbas buruk itulah yang menimpa Tito.

Tito terbengong-bengong dan menerima kenyataan sambil bertandang ke rumah Enny. Setelah bertemu Enny, Tito berterus terang. “Maafkan aku En.., aku nggak boleh berkhayal jadi orang kaya. Aku ikhlas jika kamu mau sama cowo manapun..”

“Tidak Kak Tito! Aku masih percaya kamu orang baik. Aku mau kamu mengerti..”

Ucapan Enny terhenti dan dia langsung menunjukkan amplop uang padanya.

“Kak, aku punya uang dan buatlah ini sebagai milikmu dan lamarlah aku..”

“Kenapa En, kenapa justru kamu yang berkorban?”

“Tidak. Akulah yang mengejar Mas Yudi, orang yang menawarkan kamu bisnis Forex dan MLM itu. Aku menuntutnya agar uangmu dikembalikan. Dia ternyata mau..”

“Hah.. kamu bisa menemukan dia?”

“Yah namanya usaha dan aku sangat tidak ingin kamu putus asa, kak!”

Rasanya lega juga hati Tito. Tetapi jumlah uangnya kurang dari sepuluh juta rupiah. Tidak mengapa. Memang uang Tito ada yang disalurkan ke bisnis emas yang tidak jelas itu, jelas memakan uang Tito dan jumlahnya lebih dari dua juta rupiah.

Inilah kenyataan, kalau dia tidak lagi terbengong-bengong. Dia semakin sayang pada Enny. Dia harus menikahi Enny. Cerita ini belum tentu dengan happy ending karena ternyata rumah kontrakan yang di huni Tito ada tetangganya yang di ciduk reserse polisi. Orang itu termasuk di daftar teroris, dan ini menahan kebahagiaan Tito walau tidak menghentikan rencana pernikahan mereka.

Kasus itu memang harus disaksikan mereka, karena mereka adalah warga yang selalu mau tahu keadaan sekitarnya. Masih bersyukur, hidup mereka belum di ganggu invasi investor swasta yang akan membuldoser perumahan kampung di Jakarta.

Berbahagialah Tito – Enny, Tuhan memberkati perkawinan kalian!

*** Selesai ***

Cerpen Karangan: Jovian Andreas
Alamat : Petamburan VI Rt.01/7 No.5 Jakarta Pusat


0 Response to "Cerpen Sepuluh Juta Rupiah"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya