Artikel Keagamaan : Bijak Menggali Makna Ibadah

ARTIKEL KEAGAMAAN
BIJAK MENGGALI MAKNA IBADAH
NAMA : ASTRI KEN AYU NINGTIAS
KELAS : XI IPA

Ibadah ritual yang di syariatkan dalam Islam memiliki keistimewaan dan karakteristik tersendiri sesuai dengan maqasidus syar`iyyah (maksud disyariatkannya) ibadah tersebut. Ibadah-ibadah itu secara sempit lazimnya dikenal dengan nama Rukun Islam oleh masyarakat Indonesia. Di mana secara formal seseorang baru dianggap sempurna Islamnya apabila ia sudah bersyahadat, menunaikan sholat, berpuasa, membayar zakat, dan mampu melaksanakan haji ke Baitullah. 

Pembagian ibadah-ibadah itu (Rukun Islam) - walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam nash-nash agama - tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu yang kadangkala baru disadari setelah melaksanakan, menggali, dan berupaya untuk menghayatinya maknanya. Tidak setiap orang memperoleh pencerahan, mendapat hidayah, dan memiliki kesadaran untuk berupaya menggali hikmah ibadah yang dilakukannya, meskipun hampir setiap hari dijalaninya. 

Mungkin karena sudah menjadi rutinitas, sehingga dianggap sebagai hal biasa, kurang kesakralan dan kekhusukannya. Sehingga dampaknya justru mengurangi nilai dan makna ibadah itu sendiri di sisi pribadi yang bersangkuatan. Suasana inilah mungkin sebagian besar kita sering mengalaminya. Semacam kegersangan dan kehampaan ibadah. 

Inilah agaknya kenapa sebagian besar kita sering terjebak rutinitas siklus ibadah yang terjadi harian, mingguan, bulanan, dan tahunan tanpa pernah bisa memetik hikmah yang sangat tinggi nilainya tersebut. Setiap hari sholat, setiap tahun berpuasa dan zakat, bahkan ada yang setiap tahun berhaji, namun kita masih kurang cerdas menggali makna, hikmah, nilai yang terkandung dalam ibadah-ibadah tersebut.

Lihatlah berapa banyak orang yang sholat, dan berapa ribuan rakaat yang sudah dikerjakan selama hidupnya tetapi sholatnya belum mampu mencegahnya dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Seolah terjadi dikotomi atau pemisahan secara sengaja antara ibadat dan perilaku seseorang. Atau dengan kata lain, ibadat tetap dijalankan, yang penting sudah dilaksanakan, sedangkan tingkah laku kita adalah urusan pribadi masing-masing.

Begitu juga misalnya dalam pelaksanaan puasa wajib Ramadhan dan puasa-puasa sunat lainnya. Berpuasa di bulan Ramadhan menjadi seremonial rutin tahunan dan tak jarang di Indonesia menjadi sebuah "budaya nasional" yang disemaraki dengan bumbu-bumbu budaya dan kadangkala tanpa disadari menggerogoti aqidah masyarakat awam. Dalam momen bulan puasa itu juga terjadi intensitas kegiatan perekonomian, bisnis, dan perdagangan yang tidak saja mewarnai bahkan mendominasi aktifitas kaum muslimin dalam berpuasa dan berhari raya.

Akibatnya mereka tidak bisa memisahkan mana yang substansial ibadah mana yang periferal, mana yang inti mana yang tambahan, mana yang boleh mana yang dilarang, dan mana yang syariat mana yang tradisi/budaya. Keawaman ini terefleksi dalam perilaku kita sehari-hari, baik ketika berbuka puasa, menyambut dan merayakan lebaran, dan seusai bulan Ramadhan - yang jauh menyimpang dari nilai-nilai puasa itu sendiri.

Contoh lain misalnya dalam membayar zakat. Sebagian besar kita berasumsi bahwa kewajiban mengeluarkan zakat tidak sepenting atau sewajib ibadah lain seperti sholat dan puasa, dan dosanya sering dianggap tidak seberapa berat dibanding dosa karena meninggalkan kewajiban lain. Bahkan kita lebih takut kalau tidak membayar pajak ketimbang tidak menunaikan zakat.

Ada juga fenomena yang sangat menarik, yaitu berhaji ke baitullah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jumlah JCH asal Indonesia adalah yang terbesar kedua setelah Arab Saudi, tak kurang dari 200 ribu jiwa setiap tahunnya. Untuk saat ini daftar tunggu haji sudah penuh sampai tahun 2020. Artinya mereka yang terdaftar untuk berhaji pada akhir tahun 2011 ini, diperkirakan baru akan berangkat di tahun 2020 nanti. 

Besarnya animo masyarakat berhaji ini sayangnya belum sepenuhnya diimbangi dengan pembuktian dalam sikap dan tingkah laku para hujjaj setelah pulang haji. Titel haji yang didambakan sebenarnya adalah haji mabrur yang implementasinya dibuktikan ketika pulang ke tanah air. Kuantitas haji rupanya belum diimbangi dengan kualitas haji kita.

Pentingnya Memaknai Sholat
Sholat adalah sesempurna-sempurnanyanya zikir atau zikir yang paling sempurna). Aqimissholah lizkri. Dirikanlah sholat, karena hanya dengan mendirikan sholat sajalah kamu bisa mengingat Allah dengan sempurna. Atau dengan kata lain agar kamu bisa mengingat/zikir kepada Allah dengan sempurna, maka dirikanlah sholat. Sempurna, karena semua lafaz zikir terdapat dalam sholat (tasbih, tahmid, tahlil La ilaaha illaallah, yang terdapat dalam rukun sholat tasyahud). Hal ini sejalan dengan bunyi hadits: Afdholuzzikri laa ilaha illallah yang artinya adalah seutama-utamanya zikir adalah Laa ilaaha illallah, yaitu sholat, karena lafaz tersebut terdapat di dalam sholat (tasyahud).

Zikir artinya ingat, yaitu Zikrullah. Sholat adalah zikir yang paling sempurna dan tentu saja sholat itu sendiri harus didirikan dengan sempurna sesuai dengan perkataan aqiimu yang artinya adalah mengerjakan sesuatu dengan sempurna yaitu syarat, rukun, sunat, dan tepat waktunya.Peryataan tersebut dapat juga berarti seutama-utamanya ucapan/lafaz zikir adalah Laa ilaaha ilallah. Sebab zikir juga artinya ucapan/lafaz. Bukankah dengan melafazkan sesuatu akan menguatkan ingatan kita akannya.

Disamping itu sholat juga merupakan salah satu perwujudan/tanda bersyukurnya seorang hamba kepada Allah swt. Hamba yang bersyukur adalah seorang hamba yang tunduk, taat, dan patuh yang dibuktikannya dengan melaksanakan sholat dengan sempurna. Ketundukan seorang hamba yang paling sempurna disimbolkan dengan sujud dengan meletakkan milik manusia yang paling berharga dan terhormat yaitu kepala di atas tanah.

Syukur artinya membuka, menerima, mengakui sedangkan kufur artinya menutup, mengingkari, menolak. Karena itu syukur lawannya kufur. Orang yang bersyukur adalah orang yang melaksanaakan sholat dengan sempurna, penuh dengan ketundukan dan ketaatan. Sedangkan orang yang kufur adalah mereka yang tidak sholat. Seperti dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya: Assholatu `imaaduddin. Faman aqamaha faqod aqomaddin. Wa man tarakaha faqad hadamaddin; alfarqu bainalkaafiru wal muslimu assholah.

Bersyukur kepada manusia artinya berterima kasih, karena menerima, mengakui kebaikan, jasa orang lain terhadap kita. Bukankah setiap kali orang berbuat baik kepada kita secara spontan diucapkan terima kasih. Sering juga dikatakan "orang itu pandai bersyukur, artinya pandai berterimakasih". Orang yang tidak pandai berterimakasih kepada orang lain, maka dia (juga) tidak berterimakasih kepada Allah. Man la yaskurinnas la yaskurillah.

Lakukanlah sholat dalam rangka kesyukuran kita kepada Allah. Kita merasa bahwa semua nikmat yang kita terima selama ini patut disyukuri, karena itu kita sholat. Maka adalah masuk akal kenapa sholat dikerjakan secara rutin setiap hari lima kali, tujuh balas rakaat dengan tujuan agar kita senantiasa ingat kepada Allah, ingat kepada nikmatNya dan bersyukur kepadaNya. Fazkurni azkurkum wasykurli wa laa takfurun.

"Ingatlah/berzikirlah kepada Aku, maka Aku akan mengingatmu; bersyukurlah kepadaKu (dengan melaksanakan sholat), dan jangan kamu kafir/ingkar (dengan meinggalkan sholat, sebab orang yang tidak sholat adalah kafir)"!

Bukan sholat saja (tetapi sholatlah yang terutama sekali) dikerjakan karena bersyukur kepada Allah. Seluruh amal ibadat hendaknya dikerjakan sebagai bentuk kesyukuran kepadaNya. Inilah setinggi-tingginya nilai ibadat seorang hamba kepada Khaliknya. Wa ahsin kama ahsanta ilaika. "Berbuat baiklah (dengan cara beribadat kepadaNya), sebagaimana/disebabkan karena Dia (Allah) telah berbuat baik kepadamu".

ARTIKEL KEAGAMAAN
Muslim Sejati Anti Kekerasan
NAMA : LINA NURYANI
KELAS : XI IPA 

Salah satu do`a yang paling banyak diucapkan umat Islam adalah Allahumma anta al-salam wa minka as-salam wa ilayka ya` udu as-salam fa hayyina rabbana bi as-salam wa adkhilna jannata daara as-salam, tabarakta rabbana wa ta` alayta yaa zal Jalaali wa al-ikraam. Artinya : Ya Allah Engkaulah Yang Maha Damai, Engkaulah sumber kedamaian, kepada-Mu lah kembali kedamaian, hidupkanlah kami di dunia dengan penuh kedamaian, dan masukkanlah kami kelak ke surga-Mu, negeri penuh kedamaian, Maha Suci Engkau, Maha Mulia, Maha Sempurna, dan Maha Pemurah).

Di sebagian besar ummat islam di negeri lancang kuning provinsi Riau ini do` a itu merupakan do` a favorit karena hampir setiap selesai sholat maghrib diucapkan bersama. Berulang kali dalam do` a tersebut lafadz Asma` al-husna, yakni al-salam (Maha Damai).

Melihat akar kata "Al- Salam" dan "Islam" ada kesamaan yakni "Salima", yang berarti "Damai, Selamat. Jika dihubungkan dengan "Muslim" yang merupakan pemeluk dari agama Islam berarti manusia yang cinta damai. Selanjutnya jika "Muslim" itu berarti orang yang cinta kedamaian maka seorang "Muslim" itu mestilah berperilaku menjaga kedamaian,jauh dari tindakan kekerasan, bagi orang-orang di sekitarnya.

Secara teologis "Islam" merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya mengandung nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, meliputi persoalan manusia sejak sebelum dilahirkan sampai ke saat kematian. Dari aspek hukum, Islam meliputi berbagai persoalan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dari aspek psikologis, ajarannya memberikan ketenteraman lahir batin. Dan dari aspek antropologi ajarannya ditujukan kepada semua bangsa dan masyarakat.

Islam amat menonjolkan ajaran persamaan antarsesama manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara mereka, perbedaan itu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, mendiskriminasi, dan bermusuhan.
Perbedaan dibuat untuk tujuan luhur, yaitu saling mengenal agar timbul saling Pengertian,dan sekaligus menguji siapa lebih bertakwa kepada-Nya.Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia hanya berfastabiqul khairat (berlomba berbuat terbaik). Demikian ajaran yang termaktub dalam ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.

Ajaran Islam, seperti termuat dalam kitab suci Al- Qur`an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis teologi anti-kekerasan, ajaran toleransi dan pluralisme keagamaan modern. Salah satunya dapat diambil dari ayat berikut: "Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, "(Q.S. al-Maidah, 5:48). Ajakan dalam ayat tersebut sejalan dengan firman Allah: ..."bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku (Q.S. al-Kafirun, 109:6). Penegasan tersebut merefleksikan satu komimen bahwa masing-masing kelompok keagamaan dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar, tanpa memutlakkan pendapat dan memaksakannya kepada orang lain.

Pengalaman sejarah Islam masa-masa awal membuktikan betapa besar resistensi penduduk Mekkah terhadap ajaran Islam. Namun, menghadapi resistensi berlebihan itu, Allah hanya memerintahkan Nabi membacakan firman-Nya: "Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan dengan benar. Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui". (Q.S. Saba, 34: 24-26).

Ayat itu menyiratkan komitmen anti-kekerasan dan ajaran toleransi yang sangat tinggi. Nabi tidak diperintahkan menyatakan absolusitas kebenaran ajarannya, tetapi justru sebaliknya. Nabi diperintahkan menjawab: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu yang benar. Mungkin juga kami salah, mungkin pula kamu keliru.

Di antara kita tidak pasti mana yang benar dan mana yang salah. Kita serahkan saja pada Tuhan untuk memutuskannya karena Dia-lah yang Maha Benar. Jadi, Nabi tidak diperkenankan melakukan pemaksaan, apa lagi kekerasan. Sebab, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan bukan solusi. Bahkan, kekerasan selalu berujung pada munculnya kekerasan baru yang boleh jadi lebih dahsyat lagi.

"Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman?" (Q.S. Yunus, 10:99). Ayat ini intinya menyadarkan Nabi, betapa ia sendiri tidak berpretensi memaksa manusia menerima dan mengikuti ajarannya: Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan apa pun alasannya.

Menarik juga untuk direnungkan, ada penegasan Al- Qur`an bahwa keselamatan akan tercurah kepada semua pengikut kitab suci mana pun, asalkan mereka memiliki tiga syarat: percaya kepada Allah swt, hari akhirat, dan berbuat baik (Q.S. al-Baraqah, 2:62). Salahseorang teolog terkenal Cyril Glasse, , mengagumi isi ayat tersebut. Sebab, di dalamnya disebutkan juga keselamatan bagi umat beragama lain, dan memandang pengakuan itu sebagai kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama.

Akhirnya dalam tulisan ini penulis beranggapan setidaknya untuk menumbuhkan jiwa muslim sejati sesuai dengan doa yang selalu dibaca diatas tersebut ada beberapa hal yang mestinya dilakukan, antara lain, adanya reinterpretasi ajaran agama oleh pemeluknya sehingga yang tersosialisasinya ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu kebencian dan kekerasan; ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Selanjutnya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan juga bisa dilakukan sebagai upaya mengubah budaya masyarakat; dari berbudaya eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Wa Allah a`lam.(*)

0 Response to "Artikel Keagamaan : Bijak Menggali Makna Ibadah"

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan baik dan sopan, bila ada kesulitan silahkan bertanya